Mohon tunggu...
MOH RUSYDI
MOH RUSYDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kelahiran Sumenep belajar hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Pembelajar Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lahirnya Politik Hukum Carry Over dalam Rancangan Undang-undang

5 Oktober 2022   21:07 Diperbarui: 5 Oktober 2022   21:11 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Kongres Advokat Indonesia

Menelaah lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian disebut UU P3. Perubahan tersebut atas dasar undang-undang sebelumnya yang dinilai kurang relevan dengan keadaan hukum hari ini dan perlu memasukkan prinsip-prisip baru dalam pembentukan undang-undang, semua tahu undang-undang tersebut menjadi landasan yuridis yang sangat penting dalam pembentukan undang-undang. 

Dalam perubahan tersebut lahirnya konsep carry over sebagai ketentuan baru tepatnya pada Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Konsep tersebut ingin menjawab terkait rancangan undang-undang yang bersifat periodik keterikatannya terhadap lembaga legislasi yang tidak berkelanjutan dan kurang efektif, sebelum adanya kosep carry over suatu rancangan yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPD ataupun Presiden apabila RUU sampai ditahap pembahasan lalu masa periodesasinya lembaga legislasi selesai maka rancangan undang-undang tidak bisa dilanjutkan oleh periode selanjunya, perlu dilakukan dari tahap awal lagi sehingga kurang menghemat waktu, tenaga dan anggaran. 

Konsep carry over ini merupakan mekanisme "pewarisan" RUU pada periode sebelumnya terhadap periode selanjutnya untuk mempertahankan dan menjamin keberlanjutan proses pembahasan RUU untuk sampai pada tahapan pengundangan. 

Beberapa negara sudah menggunakan konsep tersebut, bisa dikatakan Inggis adalah salah satu negara yang cukup berhasil menerapkan mekanisme ini, terhitung dari tahun 2002 yang berlaku permanen sampai hari ini. 

Terlihat hingga tahun 2018, setidaknya terdapat 38 RUU yang "diselamatka" setelah menerapkan mekanisme carry over [1]. Di Indonesia sendiri carry over dihadirkan karena banyaknya RUU yang telah masuk Prolegnas jangka menengah namun belum dapat dirampungkan, terhitung dari 246 (dua ratus empat puluh enam) RUU yang masuk dalam Prolegnas jangka menengah pada periode 2014-2019, yang dalam 5 (lima) tahun terahir itu baru diselesaikan sebanyak  90 (sembilan puluh) RUU yang merupakan RUU perioritas setiap tahunnya dan RUU Komulatif Terbuka [2].

Yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundang-undangan ialah proses pembuatan yang meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Adapun dalam sebuah peraturan, peraturan tertulis ialah yang memuat norma hukum yang mengatur secara umum dan dibuat oleh pemerintahan yang sah. 

Beberapa RUU yang dinilai terselematkan dengan adanya mekanisme carry over, pertama, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kedua, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pemasyarakatan dan RUU tentang Pertanahan, akan tetapi keterangan tersebut masih belum ada keputusan yang jelas, karena melihat ketentuan dalam Pasal 71A Undang-undang 15 Tahun 2019 RUU tersebut bisa dilakukan carry over apabila ada kesepakatan antara DPR, Presiden dan/atau DPD, pertanyaannya sekarang, apa makna kesepakatan bersama? Apakah ketika Presiden menyepakati untuk dibahas ulang bersama DPR kemudian Presiden diakhir tidak menyetujui untuk diundangkan bisa dimaknai kesepakatan bersama?. 

Kehadiran carry over selain ingin menjawab RUU yang tidak terselesaikan oleh periode sebelumnya (dalam Pasal 71A Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 bahwa syarat RUU dapat di--carry over yaitu RUU yang suah memasuki tahap pembahasan Daftar Inventaris Masalah DIM) juga bisa meminimalisir penggunaan anggaran yang cukup besar dalam proses pembentukan undang-undang (efisiensi APBN), mengevaluasi tingkat efisiensi dalam pembentukan undang-undang berati mempertimbangkan apakah biaya yang telah atau akan dikeluakan sudah sejalan dengan konsep dan tujuan dari undang-undang yang bersangkutan [3], pentingnya juga sumberdaya, waktu sia-sia yang dibuang begitu saja tetapi tidak mengahasilkan undang-undang yang terencana, terpadu dan sistematis. 

Perdebatan liar menghasikan bahwa hukum adalah produk politik sehingga hukum dalam hal ini undang-undang merupakan doktrin dan wujud kejahatan kepentingan dari setiap partai politik, persangkaan itu bisa benar dan salah. Perlu diingat untuk mencermati proses pembuatan undang-undang, yang terlebih dahulu adalah naskah RUU. Draf RUU dapat dibedakan menjadi tiga draf, pertama, Naskah Akademik, kedua, Naskah Politik (political draft) dan yang terahir Naskah Yuridis [4]. 

Dalam draf pertama tentu pembuatan naskah akademik tidak telanjang keseluruhan dibuat oleh lembaga politik, dimana melibatkan semua pihak salah satunya Akademisi, baru ketika ditahap kedua yang secara "pure" menjadi naskah politik, sedangkan dalam ilmu perundang-undangan naskah akademik dan undang-undang tidak bisa di bedakan ia menjadi satu rumpun yang tidak bisa di pisahkan, adanya carry over bukan justru memperkeruh perdepan itu tetapi ingin menghasilkan politik hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial indvidu dalam masyarakat [5]. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun