Mohon tunggu...
MOH RUSYDI
MOH RUSYDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kelahiran Sumenep belajar hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Pembelajar Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membaca Tumpang Tindih Peraturan Perundang-Undangan dan Over Legislation di Indonesia

3 Oktober 2022   14:25 Diperbarui: 3 Oktober 2022   14:30 2781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut tradisi Eropa Kontinental dengan bahasa lain civil law, menjadi pengetahuan umum bahwa syarat atau ciri dari tradiri tersebut ialah pentingnya peraturan tertulis 'statutory laws' atau 'statutory legislations' dari keseluruhan tentu Indonesia telah menjalankan hal itu. Dan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) sebagai landasan yuridis  Indonesia negara hukum. Konsep maupun prinsip yang di ambil saya kira mendekati pada sistem tersebut. Tetapi perlu diingat hukum modern tertulis berbeda dengan hukum pra-modern, hukum modern mengalami kemajuan yang cukup pesat apalagi negara hukum modern dalam skala konsep bercita-cita untuk menggunakan hukum sebagai salah satu sarana meraih berbagai tujuan negara, baik ketertiban, pembangunan, maupun kesejahteraan bersama [1]. Dan tentunya negara hukum modern dengan perangkat hukum tertulis yang sangat kaku, kejam, yang harus diikuti, tetapi meskipun begitu, Hukum (undang-undang) itu kejam, tetapi seperti itulah yang tertulis "Lex dura, sed tamen scripta". Artinya momen kemajuan hukum sama dengan ketidak siapan masyarakat yang akan diatur oleh hukum tersebut. terlihat dalam beberapa putusan Pengadilan yang mengakar pada keadilan perosedural saja bukan pada subtantif. Hal-hal semacam itu merupakan akibat kemajuan hukum yang terlalu cepat dan sekaligus efek-negatif terhadap hukum itu sendiri, karna adanya hukum akan merubah kebiasaan masyarakat (kebudaayan dan adat-istiadat) dalam tatanan sosial yang itu antara kemajuan hukum dan masyarakat harus seimbang.

Salah satu masalah terbesar dalam pemerintahan hari ini adanya Tumpang Tindih Peraturan Perundang-undangan atau Over Legislation dampak adanya masalah tersebut, mengakibatkan dan melahirkan sebuah ambiguitas ditengah masyarakat untuk mengikuti sebuah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan yang sah, dan banyaknya tafsir---liar terhadap peraturan perundang undangan untuk penegakan peraturan tersebut. Salah satu contoh adanya tumpang tindih peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Berskala Besar dalam Rangka Pencegahan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), dinilai tumpang tindih atau bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Peraturan Menteri Perhubungan Pasal 11 ayat (1) tersebut yang menjadi dasar diperbolehkannya ojek online dalam mengankut penumpang ditengah pandemi, sementara dalam Peraturan Menteri Kesehatan Pasal 13 ayat (10) yang justru menentang pengoprasionalan ojek online dalam pengangkutan penumpang.

Penulis menemukan riset dari laman situs peraturan.go.id tentang jumlah peraturan perundang-undangan di Indnesia, Peraturan Pusat 3866, Peraturan Menteri 16995, Peratura LPNK 4565 dan Perturan Daerah 15982 [2]. Pada peraturan Menteri sendiri pertahun 2020 menetapkan sebanyak 1165 peraturan yang ditatapkan [3]. Ada potensi disharmonis dari peraturan yang sejajar maupun peraturan diatasnya, salah satu faktor terjadinya tumpang dindih peraturan tersebut ialah ego sektoral dari setiap lembaga negara yang menggunakan kekuatan politik hukumnya masing-masing. Menurut Kusnu Goesniadie ada lima faktor yang menyebkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan: 1). Jumlah peraturan perundang-undangan yang terlalu banyak yang diberlakukan, 2). Perbedaan kepantingan dan penafsiran, 3) kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang tata pemerintahan yang baik, 4). Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari mekanisme pengaturan, administrasi pengaturan antisipasi terhadap perubahan dan penegakan hukum dan 5). Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan [4].

Kasus seperti itu banyak dipertontonkan oleh pembuat udang-undang sehingga dampaknya pada ketidak pastian hukum yang justru penting harus dikaji karna tujuan hukum salah satunya kepastian, hukum harus pasti, harus dirasakan oleh masyarakat yang nantinya memberikan perlindungan yang menjamin untuk hidup berbangsa dan bernegara agar lebih baik. Disisi lain terjadi konflik kewenangan atau sengketa kewenangan dari setiap lembaga pemerintah maupun lembaga negara. Ketika terjadi kekosongan lembaga untuk menyelesaiak kasus-kasus seperti itu dengan baik. Sekarang kewenang menyelesaiakan Undang-undang terhadap undang-undang diatasnya bisa ke Mahkamah Konstitusi sedangkan dari Undang-undang dibawahnya terhadap Undang-undang bisa ke Mahkamah Agung. Perlu diperhatikan proses peradilan bukan solusi yang absolut terhadap suatu kelompok yang dirugikan. Kenapa? Tentu setiap proses penyelesaian pasti mempunyai sisi baik dan kurang baiknya, tapi mari kita uji. 1). Banyaknya perkara yang mangkrak dalam pengadilan yang belum diproses, 2). Prosedur peradilan yang tidak mudah ditempuh oleh masyarakat dan bersifat tertutup dan sepihak,[5] 3). Mahalnya biaya persidangan, kalau semisal mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung bisa dibuktikan aturan mainnya dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung tentang Hak Uji Materiil.

Ketiga problem proses peradilan tersebut, merupakan bagian-bagian kecil yang itu berdampak besar, sederhananya hal itu menjadi skat antara masyarakat dan kekuasaan, bisa dibayangkan masyarakat sebagai pemohon (dalam hal ini yang dirugikan dari adanya undang-undang) justru ketika masyarakat ingin menyelesaikan atau keluar dari tameng tersebut harus dan wajib untuk menanggung dari kegiatan-kegiatan atau proses peradilan. Jika melihat dari beberapa negara ada lembaga harusnya jika perlu dan memang perlu ada lembaga yang berwenang dengan proses non-litigasi (diluar peradian, berasaskan sederhana, cepat, mudah, murah dan dapat ditempuh oleh semua elemen masyarakat) bisa dilihat seperti lembaga di Korea Selatan, Ministry of Legislation (Moleg). Australia, Office of Best Practice Regulation (OBRP). Jerman, Regulatori Kontrol Council [6]. Yang secara sederhana lembaga tersebut persis Lembaga Regulasi Nasional. dan jika pun akan dibandingkan dengan Kementerian Hukum dan HAM yang dimiliki oleh Indonesia. Tentu Kementerian Hukum dan HAM tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan soal-soal yang serupa, jika pun ada jelas keputusannya bersifat Rekomendasi terhadap Presiden apabila tidak menemukan kesepakatan kedua belah pihak, keputusan itu tidak selesai dilembaga tesebut. Pentingnya lembaga tersebut akan membuka ruang publik atau akses yang mudah dijangkau oleh masyarakat (berasaskan sederhana, cepat, mudah, murah dan dapat ditempuh oleh semua elemen masyarakat) yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh adanya tumpang tindih peraturan perundang-undanga atau over legislation.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Zainal Arifin Muchtar, (2022), Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang, Yogyakarta: EA Books. h. 5.

[2] Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan "Jumlah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia", http://peraturan.go.id, di akses pada tanggal 14 April 2022.  

[3] Hasil dari penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), pada bulan maret 2021 mengatakan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia berpotensi dan mengarah pada hiper legulasi. https://www.kompas.com, di akses pada bulan 21 Maret 2021.

[4]  Kusnu Goesniadie, (2014), Harmonisasi Sistem Hukum: Mewudujkan Tata Pemerintahan Yang Baik, Malang: nasa Media. h. 11.

[5] Taufiqurrahman Syahuri, (2014), Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujuan Peraturan Perundang-undangan, Jakrta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemnetrerian Hukum dan HAM. h. 63.

[6] Pusat Analisis Kebijakan Hukum dan Ekonomi, (2020), "Urgensi Badan Regulasi Nasional" Jakarta. h. 13.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun