Mohon tunggu...
Rusyd Al Falasifah
Rusyd Al Falasifah Mohon Tunggu... Belum Bekerja -

Pemerhati kekacauan pemahaman terhadap agama, filsafat, dan kegiatan keilmuan. Minat dibidang agama Islam, pendidikan, ilmu umum, filsafat, sosiologi, dan metodologi. Email: rusydalfalasifah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Mainstream? Inilah Cara Mendidik Perilaku Remaja

15 April 2016   18:37 Diperbarui: 15 April 2016   18:52 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Penyimpangan yang Disalahartikan. Via nendangbanget.net"][/caption]

Pernahkah anda mendengar “Pegasus Geng”? atau mungkin tren cium ketek pacar? Jika anda adalah seorang yang aktif di media sosial seperti Instagram, saya kira anda sangat mengenalnya. Pegasus Geng adalah nama akun Instagram yang berisi foto-foto selfie sekolompok remaja. Bodohnya, mereka sebar foto selfie yang terkesan menghina ibadah umat muslim. Mereka shalat ditempat yang tak lazim dan berpakaian yang tidak tepat juga. Beberapa waktu kemudian, muncul tren baru lagi dengan bentuk yang sama. Tapi kali ini fotonya lebih menjijikan, yaitu foto mencium ketiak pacar.

Tidak sedikit yang mengikuti tren seperti ini. Ada banyak foto di Instagram dan mungkin di media sosial lainnya yang terkait dengan tren yang menyimpang. Misalnya, berfoto zebra cross dengan telanjang dada, dengan tiduran, atau gaya-gaya yang alay. Dan ini semua seolah dijadikan lahan bagi remaja untuk mengaktualisasikan dirinya dan menunjukan eksistensinya. Dengan memanfaatkan media dan opini, tren menyimpang ini terus menyebar dan mempengaruhi remaja selainnya.

Jelas terlihat bahwa sedang ada masalah pada mereka. Masalahnya adalah perilaku yang dipilih justru bernilai kosong, dan bahkan negatif. Dan itu malah menjadi rutinitas. Memang sebenarnya masalah ini tidak hanya mengenai foto selfie, melainkan seluruh kasus penyimpangan remaja yang tak kunjung usai dari dulu hingga kini. Ini adalah sebuah penyakit yang terus menular sepanjang jalannya waktu. Andai saja hal itu bernilai positif, maka itu tak menjadi masalah. Tapi yang diikuti oleh banyak remaja sekarang justru perilaku yang sia-sia dan bahkan negatif.

Memang, salah satu tugas perkembangan yang penting di masa remaja adalah secara bertahap mengembangkan kemampuan yang mandiri untuk membuat keputusan yang kompeten (Mortimer & Larson, 2002). Artinya, remaja harus dapat melakukan sesuatu dengan tidak menyimpang. Akan tetapi, kemampuan ini sangat sulit untuk didapat. Terutama, jika dia tidak dibantu oleh yang lebih paham.

Ada beberapa hal yang perlu dilihat dan diatur. Disinilah peran keluarga (khususnya orang tua) untuk melakukan pendidikan perilaku. Sebab, hanya diri sendiri dan keluarga yang sangat mengenal dan memahami hal-hal itu. Pertanyaannya, peran yang seperti apakah yang bisa dilakukan oleh keluarga?

Menurut saya, ada tiga hal yang perlu diarahakan dan diberi pendidikan oleh keluarga. Yang pertama adalah tentang kepribadiannya, yang kedua adalah tentang hubungan sosialnya, dan yang ketiga adalah pengondisian keluarganya. Tiga hal ini adalah penentu utama nilai perilakunya. Akan tetapi, dalam proses pendidikan ini yang tak boleh dilupakan adalah melihat dari sudut pandang remaja. Kita tau kalau dia tidak mau dibatasi secara penuh, juga tak boleh dibebaskan secara penuh. Mereka juga mudah emosi, tapi kita tetap tak boleh membiarkan dia menjadi orang yang emosional. Pada prinsipnya, keluarganya harus mengenal dan mengerti betul bagaimana remaja itu. Jika tidak, maka perannya akan sia-sia, atau bahkan menjadi negatif.

Untuk mendidik kepribadian, ada beberapa sisi yang perlu selalu diajarkan. Diantaranya adalah berpikir obyektif, konsisten, dan etika. Semuanya itu akan membimbing remaja kepada kepribadian yang tidak sembrono, dan justru mengarahkan kepada apa yang seharusnya dilakukan. Obyektif sendiri artinya memahami betul tentang sesuatu itu sebagaimana mestinya. Salah ya salah, benar ya benar. Tidak ditambahi ataupun dikurangi. Meskipun demikian, berpikir obyektif tidaklah semudah yang dibayangkan. Perlu kecakapan berpikir dan pengetahuan yang memadahi agar benar-benar obyektif. Sebenarnya sangatlah sulit untuk bertahan obyektif. Maka diperlukanlah pembelajaran tentang konsistensi agar dapat terus setia pada obyektifitas. Kita bisa mengisinya dengan motivasi. Misalnya, motivasi akhirat.

Etika mungkin sedikit berbeda. Mengajarkan etika mungkin akan menjadi ajaran yang paling sulit untuk diaplikasikan. Bahkan kadang dari kaca etika, perbuatan bisa bertentangan dengan obyektifitas. Etika berbicara mengenai baik atau buruk yang terikat oleh pertimbangan tertentu di lingkungan (terapan). Bisa jadi, perilaku yang obyektif justru berdampak buruk, ataupun yang tidak obyektif justru berdampak baik ketika diterapkan. Namun etika bukanlah alat untuk melegitimasi perbuatan yang salah, melainkan sebuah alat untuk tetap obyektif.

Misalnya, secara obyektif, merokok itu merugikan. Akan tetapi ketika diajak oleh teman sekelasnya yang rutin merekok, maka secara etika, mengatakan “Kok kamu melakukan hal yang merugikan?” tidaklah tepat. Inilah etika. Dalam contoh ini, etika diterapkan demi menghindari perseliihan agar dapat bertahan obyektif. Jadi dia bisa mengatakan “aku sedang ada acara keluarga, jadi gak bisa ikut ngerokok” atau alasan selainnnya yang etis.

Kesulitan dalam etika adalah bagaimana caranya mempertimbangkan sesuatu secara tepat. Sebab jika salah mempertimbangkan, maka perbuatan kita bisa bernilai buruk sekalipun kita telah mengatakan yang benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun