Hujan membasahi puisiku petang ini, kutulis dalam dingin yang menggigilkan tulang-tulang kaki yang sudah tua. Puisi tidak basah, apa lagi kedinginan membiarkan hujan membasahi tanah yang tidak pernah tua. Kuselesaikan satu bait, ketika rintik-rintik hujan yang masih tersisa. Berhenti seasat sebelum dilanjutkan karena ada yang terlupa.
Kewajiban hampir terlewatkan, ketika diingatkan waktu yang sempat ragu. Rintik-rintik tak menjamin akan berhenti hujan, putuskan untuk berhenti menunggu. Lalui jalan yang masih basah terlihat beberapa alat peraga kampanye tumbang, tak ada yang mengganggu. Hujan bukan menumbangkan, tidak saling menyalahkan karena angin yang bertiup terlalu kencang. Tak perlu ada yang ditantang, biarkan puisiku menggigil dingin dalam telanjang.
Tak sadar tua, walau telah disindir hujan dengan dingin hingga malam menjelang. Tahankan dengan tulang-tulang rapuh, ketika malam hujan kembali datang. Orang tua yang tak ingin jadi pecundang. Tetap bertahan dalam tantangan walau remuk tulang. Hujan bukan untuk dikalahkan. Cukup ditulis saja dalam baris kalimat tanpa keluhan.
Sungailiat, 16 Februari 2019