Kalau puisi ini kata-kata terakhirku, kuingin dingatkan saja tak lebih. Tak ada kata-kata pedih, apalagi sedih karena aku tak suka merintih. Rintihan, ratapan hanyalah menunjukkan ketidaktabahan, keegoisan. Ada saatnya untuk pasrah, mengembalikan kepada Pemilik Nyawa, terserah.
Semoga malam ini tidak ada lagi mimpi yang hanya menghibur diri, berakhir dengan terbangun ketika dini hari. Walau tak ada lagi yang membangunakan, aku yakin ini adalah karuniah terbaik bagiku. Begitu pula dengan puisi ini, masih tetap sama tak ada yang istimewa hanya dengan persajakan yang sama.
Aku lahir dari diksi para pemantun, aku mati juga masih mendengarkan pantun. Pantun itu melantun, menunjukkan orang Melayu yang sopan santun. Ingat saja, bila masih bisa bangun esok hari aku akan kembali menulis puisi tentang matahari.
Sungailiat, 9 Februari 2019