Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jadi Siswa yang Baik itu harus Baca Buku iya, Bang?

24 Mei 2012   09:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:52 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kemarin malam, adek Saya, bukan adek kandung, menanyakan soal matematika lewat sms. Widya siswa kelas IX SMP itu bertanya tentang soal matematika kelas VII. Katanya, dia sedang membantu menemani adeknya yang sedang belajar. Tetapi Widya sendiri kesulitan untuk membantu menyelesaikan suatu soal. Jadinya dia minta bantuan lagi. Saya pun menjelaskan bagaimana menyelesaikan soal itu. Saya hanya memberikan strateginya saja. Alhasil dia pun mengertidan bisa menemukan sendiri jawabannya.

Sms-an kami masih tetap berlanjut. Kami beralih topic tentang mata pelajaran bahasa Inggris. Saya memberikan tips. Tips-nya sederhana saja. rajin baca buku – bacaan apa pun, dan sekalipun bukan bahasa Inggris, akan membantu kita belajar bahasa Inggris secara tidak langsung. Rajin bolak-balik kamus. Suka menonton film dan mendengar lagu ber-bahasa Inggris. Perhatikan cara mengucapkan dan susunan kalimatnya. Sebisa mungkin, gunakan bahasa Inggris kepada guru bahasa Inggrisnya, dan juga praktek bersama teman.

Widya balas dengan: Hmm ea lah bg..”. Tampaknya tips saya itu terlalu biasa, tetapi berat baginya.

Kompasianer: “hahaha.. abg jg buat yg kae gtu.. ampe skrg msh ttap blajar English.. abg salah blajar.. nyesal krn tak rajin baca..”

“bkn nya slama ne da rjn bca bku ea bg?”

“Blum.. abg bru suka baca ktk dah bbrpa smester di universitas.. baca dulu ah.. sedap x bacaan ne..”. Saya sms-an sambil baca buku The Four Loves-nya C. S. Lewis.

“Mksud nya bg?”. Barang kali Widya bingung dengan kalimat terakhir saya.

“Ada yg tidak beres ma siswa yg tidak suka baca, dek.. t’masuk widya.. kla km ga b’usaha m’cintai buku, dgn m’baca buku, kmu bukanlah siswa yg baik.”. Demikian saya nge-sms kembali. Berharap dia terdorong untuk mulai rajin membaca.

“Owh… cpa cih yg ska bca bg. Ya palingan cm be”rapa orang.”

“Hmm jd siswa yg baek thu hrus bca bku ea bg. Tp prcuma jha d bcaklau gx d phmi.”

“pasti, dek.. siswa yg baik tu, pasti akn rajin m'baca.. memang klu tak rajin baca, buku yg sbenar'a gampang dimengerti pun jdi sulit dipahami..mulailah membaca buku yg gampang dimengerti lbh dulu.. mis, buku cerita, komik, dongeng atau cerpen.. klu dah t'biasa m'ca yg dmikian, maka buku yg sulit dipahami, perlahan jadi gampang.. tak ada jalan pintas utk berhasil selain berusaha dgn keras n tekun..”

“Owh gtu bg mksh bwt cramah nya ea. tgl 2 juni kluar nmr nya doa kan ea bg. Mga lulus…. :-)

Saya, “…

*****

Tampaknya beginilah potret siswa kita secara umum. Dari beberapa sekolah tempat saya mengajar, saya cenderung mendapat gambaran serupa. Kurang dekat dengan bacaan. Dikasi saran yang sebenarnya tidak begitu memberatkan, sudah langsung kewalahan. Satu tips saja belum pun dicoba. Ketika libur datang, libur semuanya. Tidak ada baca buku sama sekali.

Membaca sepertinya sesuatu yang sulit. Aktivitas ini terkesan bukan bagian dari kegiatan belajar. Siswa yang saya jumpai terkesan merasa bahwa siswa yang baik adalah sebatas siswa yang mempunyai karakter yang santun saja. Tak perduli otaknya ‘digarap’ atau tidak, asal rajin saja datang sekolah, tidak ribut-ribut, sudah dikatakan siswa yang baik. Memang baik itu relatif. Tapi tetap saja siswa yang malas membaca bukan siswa yang baik.

Kurangnya Akses

Salah satu factor yang membuat rendahnya minat baca siswa SMP-SMA, sepertinya kurangnya (akses) buku yang sesuai dengan perkembangan kognitif mereka. Ketika masih duduk di bangku SMP, saya nyaris tak membaca apa-apa selain buku teks pegangan siswa. Membaca buku cerita paling dari buku buku bahasa Indonesia. Ketika buku bahasa Indonesia dibagi, biasanya saya langsung mencari cerpen dan penggalan novel-nya. Saya masih ingat dengan judul Si Jamin dan Si Johan, Sup Kapak, Ateis dan Layar Terkembang. Selain itu, palinglah membaca koran bekas pembungkus martabak atau lauk dari pasar. Perpustakan hanya berisi buku-buku lama. Itu pun tidak dibuka. Paling ketika mengambil dan mengembalikan buku bantuan pemerintah. Ketika sudah duduk di bangku SMA, hal yang hampir sama juga saya alami.

Ketika kami kelas III SMA, perpustakaan memang dibuka, khusus bagi kelas-kelas yang sedang kosong, tapi tidak melayani pinjaman. Hanya baca di perpustakaan saja. Buku-bukunya pun kebanyakan terkesan tidak menarik. Buku lama dan berdebu. Saya masih ingat, karena tidak ada layanan pinjaman, jadinya bersama teman, kami mencuri buku kaligrafi -- buku ini demikian menarik bagi kami. (Tidak bermurah hati maka dosa yang akan datang). Tapi masa ini juga saya merasa betapa mencerahkannya karya sastra Robohnya Surau Kami-nya A. A. Navis. Namun susah menggambarkannya dengan kata-kata karena rendahnya keterampilan berbahasa. Bagaimana bisa terampil, membaca saja jarang, dan di sekolah pun lebih dominan menggunakan bahasa Ibu.

Selain bacaan-bacaan di atas, saya tidak tertarik dengan bacaan-bacaan pelajaran lainnya. Buku teks pegangan siswa sangat membosankan. Banyak yang tidak dimengerti. Saya yakin, seandainya iklim membaca mendukung ketika itu -- berupa kemudahan mengakses buku sesuai dengan perkembangan kognitif anak -- minat baca akan tumbuh dan berkembang. Ketika minat baca sudah tumbuh subur, buku teks pegangan yang kaku, monoton dan membosankan, perlahan akan dibaca secara intens, pemahaman akan timbul, dan buku pun disukai. Keterampilan berbahasa akan meningkat. Kami pun (siswa sekarang juga) tak perlu merasa kewalahan dengan soal cerita dalam pembelajaran matematika.

Sejak Kecil pun sudah Jauh

Ketika siswa mulai dari Sekolah Dasar (SD) tidak dekat dengan bacaan, ketidakdekatan semakin lama semakin besar. (Kecuali ada yang menggugah mereka, terhenyak dan sadar betapa suatu bacaan akan ‘menyelamatkan’). Bacaan yang disediakan semakin lama akan semakin rumit, sesuai dengan asumsi perkembangan intelektual siswa. Ketika sudah sekolah menengah, guru merekomendasikan membaca buku -- bukan buku teks pegangan siswa untuk belajar --, buku-yang-asumsi guru akan ringan dibaca oleh siswa, guru akan kecewa. Kecewa karena buku itu tidak menarik perhatian siswa.

Kalau pun siswa serupa ini masuk ke perguruan tinggi, minat bacanya jalan di tempat. Karena kalau pun dia ke perpustakaan, dia hanya sekedar mengerjakan tugas saja. Dia hanya akan menumpuk kutipan-kutipan. Mencaplok karena terkesan berhubungan. Karena ada sajanya ‘kata’ yang sama dengan tugas yang dikerjakan. Barang kali dia juga akan menghasilkan makalah. Tapi makalah yang tak lebih dari tumpukan kalimat-kalimat mati. Lumayan kalau karya itu memiliki ‘badan’. Ibarat disuruh bangun gedung, yang dikerjakan hanya menimbun batu, pasir dan bahan bangunan lainnya. Gedungnya tak kunjung berdiri.

Menjadi Teladan

Pada dasarnya, keluargalah tempat pendidikan pertama dan utama. Segala sesuatunya dimulai dari sini. Yang paling gampang menularkan kecintaan terhadap pustaka adalah orang tua. Apalagi ketika orang tua mengenalkan buku sejak dini. Melihat ayah-bundanya gemar membaca, anak kecil itu dengan segala kepolosan dan ingin tahu-nya akan mendekat. Ikut gabung bersama. Barang kali dia akan mengambil majalah berwarna menyolok, mengangkatnya, duduk manis di sofa meniru ayah-bundanya membaca, membolak-balik halamannya, padahal dia belum tahu membaca. Umurnya baru tiga tahun. Bundanya akan membacakan dongeng tentang si anjing yang setia, atau buaya yang serakah dan curang.

Ketika anak itu sudah duduk di SD, barang kali dia sudah tak suka didongengi. Tapi dia sekarang yang menjadi pendongeng. Sumber dongengnya dari buku yang dibaca, yang dibelikan oleh mama-nya dua hari yang lalu. Menginjak sekolah menengah, orang tua-anak itu akan berdiskusi tentang bacaan mereka. Ketika sudah dewasa, mereka sesekali akan berdebat dan tertawa lepas bersama tentang buku yang mereka baca. Barang kali mereka akan berdiskusi tentang tetralogi Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, atau novelnya The Brothers Karamazov karya Dostoyevsky. Atau bisa juga tentang karya C.S. Lewis, The Problem of Pain. Suatu saat bahkan, sang ayah akan menutup bukunya, ketika tiba-tiba mendapat informasi bahwa anaknya mendapat Hadiah Nobel bidang sastra.

Mungkin orang tua sudah terlanjur tidak dekat dengan pustaka. Atau anak yang justru terlanjur jauh dari buku. Susah untuk memulainya dari awal. Saya yakin, sedikit perhatian dari orang tua dengan, menanyakan buku apa yang dibacanya, siapa pengarang yang menarik perhatiannya, buku apa yang paling berkesan baginya, atau pertanyaan serupa lainnya, sedikit banyak akan meningkatkan motivasinya untuk membaca. Tapi alangkah lebih bijaksana, ketika kita menjadi teladan bagi anak kita.

Akhirnya, saya tutup lagi dengan sms kepada adek saya itu. Tak ada jalan pintas untuk berhasil selain berusaha dengan keras dan tekun. Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun