Di mata Mas Hario Dalem, Panitis yang sekarang bukan lagi seorang pencari rumput yang malas. Panitis itu kini berdiri dengan wajah tengadah.
Lelaki tua itu kini benar-benar bersikap sebagai seorang senapati di garis peperangan. Panitis yang pernah dikenalnya dahulu, ialah dia yang dulu bagaikan singa di garis depan, saat Tuban membela Pajang menghadapi pemberontakan orang-orang Mataram di tahun 1582 M. Kini Panitis adalah benar-benar paman gurunya.
Karena itu dada Mas Hario Dalem menjadi berdentang cepat. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk tegak dengan wajah yang tegang, menghadapi orang tua itu.
Mendengar jawaban Mas Hario Dalem yang pendek itu, Panitis kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia berkata: "Raden, aku adalah seorang abdi yang sejak Pamanda Haria Salampe masih hidup aku adalah abdi di Kadipaten. Kalau aku kebetulan menjadi saudara seperguruan Adipati Pemalat itu bukanlah menjadi soal. Kini angger adalah pimpinan laskar Tuban sepeninggal Ramanda dan Paman Salampe. Dalam hal inipun siapa Panitis dan siapa Mas Hario Dalem bukan juga menjadi soal."
"Diam!" potong Mas Hario Dalem dengan suara bergetar "Kubunuh kau!"
Tetapi ia terkejut ketika ia melihat Panitis meletakkan golok pembelah kayu di tangannya dan selangkah ia maju mendekatinya, "Marilah ngger, seperti halnya leluhurmu Raden Mas Sekartanjung, pamanmu Panitis ini dapat pula dibunuh dan mati untuk tidak bangkit kembali."
Benteng Surolawe itu kemudian menundukkan wajahnya dalam-dalam.Â
Bersambung