Tetapi tiba-tiba ia berteriak: "Mati, kau harus mati paman!"
"He?" Panitis terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga untuk sesaat mulutnya seakan-akan terkunci. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu telah berhasil menguasai dirinya kembali. Bahkan Panitis kemudian tersenyum. Ditatapnya mata Mas Hario Dalem seolah-olah orang tua itu ingin memandang tembus kedalam pusat jantungnya. Dengan tenangnya Panitis itu kemudian menjawab: "Angger, apakah angger bermaksud membunuh aku?"
Pertanyaan itu menghantam dada Mas Hario Dalem sehingga serasa akan meruntuhkan segenap tulang-tulang iganya. Sesaat orang muda itu terdiam, namun kemudian dikerahkannya segenap tenaga dan kekuatannya untuk menjawab. Hanya sepatah kata : "Ya!"
Kembali Panitis tersenyum. Senyum yang menggoncangkan hati Benteng yang garang itu. Di mata Mas Hario Dalem, Panitis yang berdiri di hadapannya itu sekarang bukan lagi seorang pencari rumput yang malas, namun Panitis itu kini berdiri dengan wajah tengadah.
Panitis kini benar-benar bersikap sebagai seorang senapati di garis peperangan. Panitis yang pernah dikenalnya dahulu. Orang tua inilah yang dulu bagaikan singa di garis depan, saat Tuban membela Pajang menghadapi pemberontakan orang-orang Mataram di tahun 1582 M.
***
Â
Keterangan:
Cerita ini hanyalah imajinasi belaka, namun pada beberapa bagian ada sumbernya.
Penulis adalah pemerhati sejarah lokal  dan praktisi pendidikan di Kota Tuban.