Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rusman: Wayang, Sayembara Durgandini (1)

7 Februari 2019   21:03 Diperbarui: 9 Februari 2019   17:06 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dewi Durgandini yang cantik itu nampak memukul-mukulkan tangannya ke tubuh suaminya. Tapi tangan itu segera meraih pundak sang suami ketika pagutan bibir lelaki tampan itu mendarat di bibirnya pula.

Kedua insan itu lantas memainkan peran masing-masing, tak ada celah sedikitpun di antara tubuh Dewi Durgandini yang semampai itu, yang tak terkena belaian jemari Raden Palasara. 

Dan tentu saja sang dewipun bagaikan terhipnotis, tangannya yang lembut membalas untuk mengimbangi kelakuan nakal suaminya.

Kini suasana hening menyelimuti hutan di tepian sungai yang cukup lebar itu. Hanya suara burung emprit yang sedikit menghiasi suasana pagi yang cerah ini.

Sesekali satu dua ekor belalang hinggap di sekitar kanan kiri, namun tak berapa lama terbang lagi seolah-olah malu menyaksikan pemandangan dua anak manusia yang sibuk bercengkrama.

Sejenak kemudian Kiai Lurah Semar yang sedang duduk jauh di bawah pohon Randu Kate itu melihat Raden Palasara tengah membopong istrinya pergi menuju perahu di tepi sungai.

Sebagai orang tua yang harus tahu diri, iapun hanya diam sambil sedikit mengamati dari kejauhan. Bibirnya tersenyum teringat pada Batari Kanestren yang sudah cukup lama ia tinggalkan.

Nampak sekali oleh orang tua itu momongannya membawa sang istri ke atas perahu, lalu mendayungnya menuju pulau kecil di tengah Sungai Yamuna. 

Meskipun arus air sedikit deras namun bagi Sang Palasara semua itu tak banyak berarti.

Perahu itupun terus melaju, pelan tapi pasti, dan akhirnya sampailah pada daratan kecil yang dituju. 

Pulau ini sebenarnya tidak terlalu luas, bahkan bisa disebut sempit. Karena sekedar gundukan tanah di tengah sungai.

Orang menyebutnya sebagai pulau hijau sebab jika dilihat dari kejauhan praktis tak ada warna lain di dalam pulau ini selain hijaunya pepohonan dan belukar yang menyelimutinya.

Sebentar kemudian nampak Raden Palasara menggandeng istrinya naik ke daratan yang mempesona itu. 

Dengan tenangnya mereka berdua berjalan pelan menaiki pulau yang banyak dihuni oleh burung-burung liar.

Tiba-tiba Raden Palasara membalikkan badan dan dengan penuh kesabaran ia berkata kepada istri.

"Tunggu Nimas, bukankah kita ingin lebih tenang dan nyaman di rumah baru kita ini kan?"

Tanpa menunggu jawaban, lelaki tampan berabut panjang itu segera menunduk hening. Tangan kanannya ia silangkan ke depan dada sambil sedikit berkomat-kamit.

Sungguh ajaib, tanpa tahu dari mana asalnya tiba-tiba kabut putih bermunculan dari segala penjuru.

"Kang Mas ..., oh apa yang sedang Kang Mas lakukan ini? Alangkah sejuknya udara di sini sekarang."

"Nimas boleh minta apapun sekarang, "kata pria itu sambil merentangkan kedua tangannya. 

Maka tak ragu lagi Dewi Durgandini segera menghambur ke pelukan suaminya. 

Kini mereka berdua berlari-lari berkejaran dan tak jarang ketika yang satu berhasil menyusul maka keduanya jatuh bergulingan.

***

(bersambung).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun