Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rusman: Wayang, Ngerinya Kematian Dursasana

30 September 2018   22:48 Diperbarui: 1 Maret 2019   10:21 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit di ufuk timur kian memerah dan suasana di Padang Kuruksetra masih sepi. Namun tidak menunggu lama tempat itu pasti akan kembali menjadi ramai, akan hiruk pikuk oleh teriakkan para prajurit. Ada suara sangkakala perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa. Serta akan riuh dengan suara sesumbar, denting pedang dan bahkan rintihan serta tangisan. 

Sementara itu di Keraton Astina, Prabu Duryudana nampak sedang menyendiri. Kemudian seperti orang terbangun dari rasa gelisahnya, ia melihat adiknya Si Dursasana yang tinggi besar itu melangkah geloyoran sambil memegang kendhi berisi toak yang telah ia gunakan berpesta pora semalam. 

"Pergilah!" tiba-tiba Duryudono menggeram. "Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kau harus segera bersiap menghadapi tugasmu. Katakan kepada musuh-musuhmu, bahwa kau adalah adik seorang raja besar yang kini menguasai Astina."

"Baiklah, Kakanda."

"Ingat, jangan membunuh diri dengan kebodohan dan kesalahan yang tidak perlu."

Dursasana menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia pun kemudian sadar, bahwa ia sudah berada di dalam lingkungan yang amat keras. Saumpama orang yang menyeberangi sungai, ia sudah terlanjur basah. Karena itu, ia tidak akan dapat ingkar lagi.

Adik Duryudana itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata kepada diri sendiri, "Aku adalah seorang prajurit. Sejak aku memasuki lingkungan ini, aku sudah mengerti, bahwa aku akan bermain-main dengan nyawaku. Jika permainanku kali ini dapat mendatangkan kesenangan, kenapa aku harus menepi dan bahkan lari?"

Dengan demikian, ksatriya Kurawa yang masih merasakan pening itu tidak lagi menjadi gelisah. Ia sudah berdiri ditempatnya dengan tenang, bahkan kemudian dengan sepenuh hati.

Sejenak kemudian ia sudah meninggalkan Keraton Astina. Ia tidak menampakkan dirinya lagi di antara adik-adiknya yang masih bersuka ria itu.

Karena itu, ia dengan diam-diam berhasil meninggalkan halaman kedaton untuk nanti pada saatnya ia harus tampil di alun-alun dengan pakaian kebesarannya.

Namun, ksatria Kurawa ini sungguh tidak tahu kalau di seberang sana nasib tragis sedang menantinya. Betapa malangnya ia nanti saat di Padang Kuruksetra, sebab Kuku Pancanaka sang Panengah Pandhawa telah siap menunggunya. Bima sang Panengah Pandhawa yang luar biasa tu Nampak sedang mengasah kukunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun