Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rusman: Artikel "Bentuk Perilaku Menyimpang dan Unsur Responsif Anak"

24 Juni 2018   00:35 Diperbarui: 31 Maret 2019   01:16 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan bukanlah tanggung jawab pemerintah saja melainkan juga masyarakat dan keluarga. Itulah sebabnya lahir azas "Pendidikan Seumur Hidup" (Life long Education) yang menegaskan bahwa proses pendidikan bisa berlangsung di mana saja, baik di dalam maupun di luar sekolah. 

Meskipun demikian pada umumnya orang lebih menaruh harapan untuk menyerahkan pendidikan anaknya pada sekolah (pendidikan formal) mengingat bahwa di dalam sistem pendidikan formal ini lebih nampak jelas program serta pelaksanaan kegiatannya.

Di dalam sistem pendidikan sekolah potensi yang akan diaktualisasikan adalah potensi dari dalam diri siswa, di mana siswa sebagai subyek didik diyakini memiliki modal dasar sejak dia dilahirkan. 

Tugas pendidikan adalah: "bagaimana caranya mengarahkan dan mempergunakan modal dasar yang ada dalam diri siswa serta memanfistasikan dalam bentuk program dan kegiatan nyata."

Sekarang ini muncul polemik di tengah masyarakat bahwa proses pendidikan yang berlaku di sekolah cenderung lebih mengutamakan bidang kognisi dan psikomotorik daripada bidang afeksi. 

Sebenarnya apriori semacam itu bukan merupakan hak baru, namun sejak zaman kurikulum pendidikan dasar 1994 (SD dan SLTP) apabila kita simak struktur program pengajarannya nampak bahwa mata pelajaran yang berbasis kepribadian serta keimanan dan ketaqwaan (seperti PPKn dan Pendidikan Agama) untuk setiap kelas hanya memiliki jatah waktu 2 jam pelajaran setiap minggunya.

Kondisi ini berbeda sekali dengan mata pelajaran yang bersifat kognitif, misalnya Matematika, yang setiap kelas memiliki jatah waktu 8 s/d 10 jam pelajaran setiap minggunya (baca: Kurikulum Pendidikan Dasar, Landasan Program dan Pengembangan, Depdiknas, 1993: 32). 

Lebih-lebih pada Kurikulum SD 2013 ini, pendidikan karakter lebih banyak diarahkan dalam bentuk pembiasaan dan bukan dalam bentuk satuan pelajaran tersendiri. Hanya dalam penilaiannya ada penilaian sikap spiritual dan sikap sosial.

Dalam kurikulum 2013 materi budi pekerti dijadikan satu muatan pelajaran dengan Pendidikan Agama. Sedang materi Pancasila kembali diintegrasikan dengan Pendidikan Kewarganegaraan. 

Oleh karena itu di tengah beban yang terasa berat bagi implementasi pendidikan karakter itu maka tugas para pendidik di sekolah bukanlah tugas yang ringan. Nilai keimanan dan ketaqwaan serta keluhuran budi pekerti  merupakan tugas terlalu berat. 

Oleh karena itu yang utama dalam pendekatan yang dilakukan oleh para guru adalah bagaimana memberikan motivasi dan keteladanan untuk para siswa mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun