Mohon tunggu...
Rusni
Rusni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hadirlah dengan Hati

4 Juli 2018   21:42 Diperbarui: 7 Juli 2018   23:21 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahukah kita bahwa akhir-akhir ini banyak orang yang depresi? Atau bunuh diri karena stress berat? Hal ini sudah seperti hal yang biasa terjadi di negara ini bahkan di lingkungan tempat tinggal kita.

Mengapa hal ini terjadi? Apakah kita berempati dengan kondisi ini? Atau kita tidak lagi peduli dengan hal itu?Dan bagaimana mengatasi situasi ini?

Dua tahun lalu, saya berkenalan dengan seorang ibu muda. Awalnya hanya" say hello" aja. Lama-kelamaan dia makin sering mengajakku ngobrol. Kelihatannya hidupnya bahagia. Mempunyai suami yang sukses dan anak yang cantik. Tapi siapa sangka dia punya banyak masalah di keluarga dan sangat tertekan. Suatu hari dia datang ke rumah. Dia menceritakan semua masalahnya pada saya. Ntah mungkin dia sudah merasa nyaman dengan saya yang selalu mendengarnya jika dia bercerita. Pendeknya dia sangat putus asa dan berniat untuk bunuh diri bersama anaknya yang masih dua tahun.

Saat itu, aku sangat terpukul mendengarnya. Saya memeluknya dan menangis. Memegang erat tangannya lalu berdoa bersama. Sejak saat itu saya selalu menyisihkan waktuku untuk menemuinya dan mendoakannya. Sekarang dia sudah bangkit dan bersemangat dalam hidupnya.

Kondisi yang lain dengan topik sama juga dialami kakakku yang tinggal di Sumatra.

Dua bulan lalu, saat adikku sakit dan opname, saya sangat sedih mendengar cerita si kakak. Persis di samping ranjang si adek yang kebetulan satu kamar terbaring seorang ibu tua. Dia selalu menangis setiap hari dan tidak ingin sembuh. Tetangganyalah yang membawanya ke rumah sakit. Melihat itu kakak menghampirinya dan selalu menyemangatinya. Si ibu cerita bahwa tidak ada satu orang pun yang menjenguknya dan menghubunginya. Kakaklah yang akhirnya memperhatikan dia selama beberapa hari di rumah sakit. Mengajaknya berdoa dan bernyayi Bersama. Itu sangat menghibur si ibu.

***

Mendengar cerita itu saya tidak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Ke mana anak-anak ibu itu? Sesibuk apakah mereka sehingga tidak sempat menjenguk ibu tua yang sebenarnya tidak punya cukup waktu lama untuk hidup? Sudah lupakah mereka dengan perjuangan ibunya yang membesarkan mereka dengan keringat yang bercucuran? Tidakkah mereka mengasihi ibu yang melahirkan mereka.

Ibu tua itu hanya butuh kehadiran anak-anak di masa tuanya. Apalagi saat dia sedang sakit.  Yah, kehadiran yang nyata. Dia hanya rindu paling tidak mereka meneleponnya. Hanya itu. Ahhh.. betapa dinginnya kasih anak-anaknya.

Merenung kembali tentang kondisi teman baruku. Punya suami yang harusnya menjadi temannya berbagi,namun malah sebaliknya dia diabaikan. Teman hidup yang harusnya saling menguatkan dan mengasihi, malah menekan dan menyakitinya. Menjadi sahabat dalam suka dan duka, malah menjadi pribadi yang menakutkan baginya. Oh my god, betapa mirisnya! Dan mungkin masih banyak kondisi-kondisi yang lebih parah yang dialami banyak orang karena tidak adanya yang peduli atau hadir mendukung mereka.

Jika boleh bertanya, seberapa sering kita mengalami kesepian di tengah-tengah keramaian? Seberapa sering kita punya banyak teman tapi hanya saat kita senang? Yang mana yang lebih banyak teman kala suka atau duka? Seberapa sering kita kelihatannya mendengar orang berkeluh-kesah, namun kita menanggapinya dengan datar atau malah tidak mau tau dengan keluhnya?

Ada banyak diantara kita yang tidak punya teman untuk berbagi padahal kita punya ratusan bahkan ribuan pertemanan di facebook atau Instagram kita. Punya suami atau istri, tetapi saat pulang ke rumah masing-masing asyik dengan handphone, bukan mengambil waktu bersama untuk mengobrol. 

Orangtua yang tidak lagi punya waktu untuk duduk berkeliling di meja makan dan saling bercerita. Ketika anaknya mulai berani bicara tentang apa yang dialami, orangtua menanggapinya dengan nada datar dan terliat cuek. Bahkan, saat sedang minta ketemuan dan makan bareng dengan teman, namun saat sudah bertemupun malah masing-masing dengan handphonenya. Betapa sedihnya dengan semua kondisi ini.

"Pergunakanlah waktu dengan baik dan jadilah saudara bagi setiap orang". Itulah motto hidupku.

Tidak tahu berapa lama kita hidup di dunia ini. Karena itu adalah bijaksana untuk menggunakan hari-hari kita dengan baik. Hadirlah dengan hati. Hadirlah menjadi teman bagi sesama yang siap mendengarkan keluh kesahnya. Dengarlah dengan hati dan terlibatlah mendukungnya. Hadirlah menjadi suami atau istri yang selalu menyediakan waktu berdua dalam berbagi masalah atau sekedar menjadi sandaran saat lelah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun