Penulis : Rusman Dani Rumaen
Mahasiswa S2 Unpatti/Ketua Bidang PU HMI Cabang Masohi
Catatan kritis ini ialah merespon Hari Pendidikan Nasional 02 Mei 2021
-------------------------------------
Sekarang kita telah melalui kurang lebih 2 tahun pandemi Covid-19 masuk di wilayah Indonesia. Seakan waktu 2 tahun itu berlalu begitu cepat. Banyak sektor mengalami hosa, sesak nafas bahkan flu dan sakit kepala akut dalam menyelesaikan pandemi ini, terlebih khusus sektor pendidikan. Pendidikan yang begitu urgen di dalaksanakan dengan tatap muka kini menunggu tanpa kepastian kunjung implimentasinya. Padahal kita ketahui bahwa peserta didik kita belum sanggup menghadapi badai digitalisasi. Sebenarnya kita mampu namun badai ini datang dengan tiba-tiba. Alih-alih pun telah dikerahkan untuk menyelesaikan problem yang di hadapi dan membuat formula (metode) yang pas agar pendidikan berjalan sesuai harapan. Akan tetapi, formula (metode) itu belum juga cocok.
Kini para peserta didik masih terus berdiam diri di rumah sembari menunggu kapan masuk sekolah dan berkumpul sesama teman sejawat mereka. Peserta didik hanya bertemu di jaringan yang kadang guru atau dosen menerangkan, mereka hanya seperti terkesima. Kadang ada yang diam, tidur, makan, ceritra bermain sambil mematikan video saat guru atau dosen menerangkan. Hal ini tak wajar bila kita mau peserta didik kita keluar dari ketertinggalan ilmu pengetahuan. Beberapa saat yang lalu saya bertemu anak sekolah yang tengah duduk dengan Hand-Phone sambil mendengarkan guru  menerangkan pelajaran, tiba-tiba ia mematikan video sambil keluar makan dan minum bahkan sambil bermain. Ketika guru memanggilnya barulah ia cepat-cepat ada di depan layar Hand-Phone dan mengaktifkan video kembali sambil menjawab sahutan gurunya. Ini takwajar jika dia biarkan peserta didik berlarut-larut seperti ini.
Dalam mengaktifkan kembali kegiatan pembelajaran tatap muka pemerintah dalam hal ini perlu mengevaluasi soal sistem pendidikan masa pandemi covid-19. Kita tidak bisa menerapkan sistem seperti di kota-kota kecil. Akan tetapi, sistem ini cocok diterapkan pada kota-kota  besar, itupun masih menyihkan banyak problem. Sehingga, diperlukan dinas pendidikan provinsi/ kabupaten/kota melakukan otonomisasi sentral/ disantralistik sekolah yang mana telah termaktub dalam kebijakan.
Kita telah punya UU Â No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang mana ini adalah langkah baru yang tidak memusat dalam sistem pendidikan. Artinya sistem pendidikan kita tidak terlalu arahnya kepusat, padahal masih ada langkah dan berbasis sentralistik. Bila penerapan pendidikan berbasis sentralistik kita jalan pada masa pandemi Covid-19 pastinya peserta didik dan pendidik terselamatkan dalam memberikan percikan ilmu pengetahuan. Sentralistik yang dimaksudkan oleh penulis ialah kabupaten/kota yang telah masuk zona hijau segera dibicarakan untuk mengaktifkan kembali sekolah. Karena dalam undang-undang tentang otonomi daerah ini wilayah atau daerah berhak mengelolah sistem pendidikan berbasis sentralistik atau berbasis kebutuhan lokal daerah (lokal Wisdom). Walaupun undang-undang ini masih meletakkan kewenangan masih pada pemerintah pusat.
Sejalan dengan undang-undang No. 22 Tahun 1999 otonomi daerah itu, merupakan konsekuensi dari keinginan reformasi untuk menegakkan kehidupan pendidikan yang demokratis (Naning yuliana, 2020). Pendidikan berbasis desentralisasi walaupun dipandang sebagai penghambat sistem pendidikan nasional yang bersifat birokratik-sentralistik, karena menitik beratkan pada kekuasaan srukturalis. Padahal kita ketahui bahwa pada dasarnya birokrasi pemerintahan tidak dapat terpisahkan dari sebuah kekuasaan dikarenakan birokrasi masih dimaknai sebagai suatu mekanisme penyelenggaraan administrasi kekuasaan (J. H. Arsyad dan Dian Karisma, 2018).
Desentralisasi pendidikan nasional diwujudkan dalam MBS (manajemen berbasis sekolah) yang mana segala macam kewenangan menjadi hak sekolah. Sejalan dengan itu konsepsi MBS sejalan dengan pengelolaan dan pelimpahan kewenangan masih dalam kerangka kebijakan nasional. Menurut (Naning yuliana, 2020), Yang mana desentralisasi pendidikan nasional itu mengacu pada sekolah manajemen mandiri (self-managing Schools) dari pada penyelenggaraan mandiri (self-Governing Schools).
Untuk itu, perlu penyelenggaraan pendidikan berbasis sentralistik yang mana benar-benar berdasarkan keadaan kikinian  atau benar-benar di hadapi oleh peserta didik dan tenaga pendidik pada masa pandemi covid-19 dalam melaksanakan proses pemberian pembelajaran. Sekolah yang harus telah bisa dikoordinasikan untuk di buka berdasarkan pemetaan wilayah di biarkan mengikuti kebijakan pusat bawah tidak boleh dulu untuk di buka. Padahal sekolah-sekolah yang awalnya menyelenggarakan digitalisasi pembelajaran kini hosa, lesu bahkan sakit dalam melaksanakan proses pembelajaran yang dirancang laring dan luring (online/ofline).