Mohon tunggu...
Rusdi El Umar
Rusdi El Umar Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMPN 1 Batang-Batang

Sang petualang yang masih terus mencari hakikat kehidupan rusdiumar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Analisis Konteks Nasihat Bijak

23 Maret 2014   17:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

ANALISIS KONTEKS NASIHAT BIJAK

(Apresiasi terhadap sebuah wacana yang ditulis oleh Asma Nadia di Repubilka Online)

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/03/21/n2sfya-nasihat-bijak-yang-menyesatkan

Tulisan ini bermula ketika saya membaca sebuah artikel di Republika Online (ROL), yang ditulis oleh Asma Nadia dengan judul: Nasihat Bijak yang Menyesatkan. Dalam KBBI saya, kata bijak adalah: selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir. Dengan demikian, maka nasihat bijak adalah nasihat yang didasarkan pada kebijakan logika, kepandaian dan kemahiran orang yang memberikan nasihat. Dalam tulisan Saudari Asma Nadia, nasihat adalah ungkapan dari orang tua terhadap anak. Dari guru kepada murid, juga dari orang yang lebih tua (senior) kepada orang yang lebih muda (junior). Maka, jika uangkapan (baca: nasihat) itu menyesatkan, maka tidak pantas lagi untuk diktatakan sebagai nasihat bijak. Lebih pas, kalau diungkapkan sebagai nasihat yang seakan-akan bijak, seolah-olah logis, atau nampaknya baik, tetapi sebenarnya “menyesatkan.”

Lebih jauh mari kita telaah pembahsana berikutnya. Kalimat “Yang penting kaya jiwa daripada kaya harta” atau “tidak perlu kaya yang penting bahagia.” Dalam pemahaman saya, kaya jiwa dan kaya harta adalah sebuah pilihan. Semisal dikatakan, “Anda suka kaya jiwa atau kaya harta?” Jadi, konteknya dalam hal ini lebih personal. Betapa banyak orang yang berharta, tetapi dengan harta yang ia miliki, karena tidak kaya jiwa, maka ia bisa frustasi bahkan yang lebih fatal bunuh diri (na’udzu biila min hadza). Memang, sebisa-bisanya, kita dapat memilih kaya jiwa sekaligus kaya harta. Dan ini adalah purna pilihan dari sebuah konteks penerapan dalam kehidupan. Namun jika tidak, tidak untuk kedua-duanya, maka kaya jiwa jauh lebih baik dari hanya sekadar kaya harta. Karena dengan jiwa yang kaya, maka harta masih bisa kita cari dengan usaha.

“Tidak perlu kaya yang penting bahagia,” ungkapan ini pun saya rasa tidak ada yang salah. Kebahagiaan dan kekayaan tidak selalu berbanding lurus. Bahkan Rasulullah saw, merasa kwatir jika ummatnya diuji dengan kekayaan. Dan beliau tidak merasa kwatir jika ummatnya diuji dengan kemiskinan. Hal ini pun terbukti, dalam sejarah kemunduran Islam, faktor utamanya adalah berkenaan dengan masalah harta, kekayaan, dan jabatan. Namun demikian, ikhtiar kita tentu saja mengacu kepada bahagia dalam kekayaan, atau kaya dalam kebahagiaan.

Rasulullah saw bukan tidak kaya? Benarkah? Kalau begitu Rasulullah saw kaya? Secara pemerintahan, Rasulullah saw mempunyai akses keuangan yang sangat luar biasa. Benar memang. Tetapi, kalau Beliau dikatakan sebagai orang kaya, sebentar dulu. Dalam sejarah kenabian kita, sudah tidak asing lagi, bagaiman kondisi rumah tangga Beliau. Bisa jadi hari itu Beliau berpuasa, hanya karena tidak ada sarapan di pagi harinya. Bahkan suatu ketika, Beliau mengganjal perutnya dengan bongkahan batu, hanya karena Beliau ingin menahan rasa lapar. Masih pantaskah Rasulullah saw dianggap kaya? Jika pun pada saat Beliau tidur, bekas pelepah kurma masih terlihat di tubuhnya. Seorang pemimpin (tertinggi) tidur beralaskan pelepah kurma? Berbeda jika Beliau berada di pihak rakyat, sebagai pemimpin pada masanya. Maka, dengan kebijakan ekonomi yang Beliau punya, tidak sedikit dari orang-orang kaya di sekitar beliau yang rela untuk mentasharrufkan (membelanjakan) hartanya di jalan fisabilillah. Secara pemerintahan, pada saat itu Islam berada dipuncak ‘ekonomi’ yang paling mengesankan.

“Rezeki tidak keman” atau “Memang Belum Rezeki.” Saya memahaminya sebagai ungkapan atau nasihat agar seseorang tidak tamak. Apa pun harus ia lakukan, dengan beragam cara, untuk memperolah rezeki. Tentu model karakter personal yang seperti ini tidak dipandang baik. Setidaknya, sebelumnya terdapat ungkapan pengantar, “Jangan terlalu berlebihan dalam bekerja. Seimbangkan dengan istirahat, shalat, dan juga untuk keluarga. ‘Rezeki tidak akan keman, kok!’”Atau juga bisa diberi pengantar,”Jangan berputus asa. Usahakan lagi dan lagi. Jangan lupa berdoa, karena itu ‘Memang Belum Rezekimu!’” Ungkapan ini lebih kepada nasihat seseorang kepada orang yang diberi nasihat agar tidak berputus asa dalam mencari rezeki. Sehingga, ia (yang diberi nasihat) tetap semangat, berusaha, juga tidak lupa berdoa.

“Kalau jodoh nggak kemana” atau “Memang bukan jodoh.” Dalam sebuah keterangan (Hadits?) dijelaskan bahwa ada 3 hal yang telah ditentukan oleh Allah swt dari sejak azali. Yaitu rezeki, mati, dan jodoh. Maka ungkapan ‘Kalau jodoh nggak kemana’ atau ‘Memang bukan jodoh,’ adalah nasihat kepada seseorang yang telah berusaha maksimal, dengan segala daya untuk mendapatkan si dia, akan tetapi pada akhirnya ia gagal. Maka, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, semisal frustasi, tekanan batin, atau bahkan bunuh diri, dan bisa jadi mengeluarkan jurus ‘perdukunan’, maka ungkapan atau nasihat di atas, rasa-rasanya pantas untuk diberikan. Tentu saja, konteks permasalahannya bukan kepada keputusasaan, untuk tidak berbuat banyak demi mendapatkan harapan ‘cinta’ yang ia inginkan.

“Tuhan saja memaafkan.” Nasihat ini tidaklah salah. Karena sudah jelas Tuhan itu bersifat Al Ghaffar (maha pengampun). Tentu saja konteksnya akan lain, jika kalimat bijak (benar-benar bijak) ini dimaksudkan untuk hanya sekadar alibi terhadap sebuah kesalahan. Misalnya, seseorang selalu berbuat salah, dan selalu meminta maaf. Setelah maaf diberikan, lagi-lagi ia berbuat salah. Maka, orang dengan karakter seperti ini tentu tidak dalam konteks pembahasan maaf memaafkan. Intinya, memaafkan kesalahan orang lain itu sebuah hak, sedangkan meminta maaf atas kesalahan diri adalah sebuah kewajiban. Orang tidak akan dikatakan jelek, andai saja ia menggunakan haknya.

Akhirnya, tulisan ini tidak dimaksudakan sebagai pembanding dalam sebuah wacana atau artikel. Hanya sebagai bentuk menemukan korelasi yang benar terhadap sebuah uangkapan/nasihat. Dan tulisan ini, bukan sebuah kebenaran mutlak, karena mutlak benar itu adalah tidak mungkin, sedangkan kebenaran mutlak hanya milik Allah swt. Jabarkan sebuah nasihat bijak, sesuai dengan konteks personal yang kita hadapi. Insya Allah, wallahu a’lam bisshawab.

Sumenep, 23 Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun