Mohon tunggu...
Rusata Tang
Rusata Tang Mohon Tunggu... lainnya -

suami 1 istri abah 1 putri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

I-Pop: Mungkinkah?

18 November 2012   14:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:06 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Munculnya gelombang Korea (Korean wave) berupa ekstensifikasi musik dan serial drama Korea merupakan fenomena kultural yang membuka kesadaran akan besarnya potensi industri musik kita sebagai modal budaya. Sejarah mencatat ikatan budaya, terutama bahasa, memberi alasan diterimanya musik Indonesia di beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura. Sejak era 60-an negara jiran tersebut telah menjadi pasar bagi industri musik Indonesia. Tak hanya musik yang menggunakan bahasa Indonesia, di beberapa negara seperti Suriname dan Belanda musik pop jawa memiliki pasar tersendiri[1]. Dibanding Amerika Secara, kapitalisasi industri musik Indonesia terbilang kecil. Tapi tidak demikian halnya, jika disandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun 1995, total kapitalisasi industri musik Indonesia mencapai $US290 juta atau kurang dari 3% kapitalisasi industri musik Amerika yang anggkanya mencapai $US12880 juta atau Jepang yang totalnya $US10019 juta. Namun angka ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Philipina yang totalnya hanya 16% dari Indonesia, Singapura 31%, Malaysia 50% dan Thailand yang total kapitalisasi industri musiknya hanya mencapai 65% dari Indonesia[2].

Kapitalisasi industri musik Indonesia yang secara regional tinggi ini tak lepas dari kreativitas pelaku industri musik dan media. Keberadaan radio sebagai penggerak industri musik pop Indonesia sangat penting sebelum munculnya televisi dan internet. Dalam perkembangan industri musik pop Indonesia, keberadaan Radio Prambors Jakarta yang mengadakan ajang kompeteisi cipta lagu bertajuk “Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) Prambors”dapat disebut sebagai tonggak baru sejarah industri musik pop Indonesia. Melalui LCLRPrambors terjaring sederet lagu yang memiliki karakter berbeda dengan musik pop yang tengah merajai era tersebut, akhir 1970 hingga1980-an[3]. Ajang lomba LCLR Prambors menunjukkan kondisi sumber daya manusa Indonesia dalam industri musik yang begitu besar. Selain menggalang potensi krativitas anak muda dalam penciptaan lagu, ajang LCLR Prambors telah mendobrak stagnasi di mana musik Indonesia cenderung tunggal saat itu. Namun, seiring perkembangan teknologi digital, LCLR Prambors surut. Anak muda merasa sudah tidak lagi tergantung pada ajang-ajang kompetisi untuk bisa menembus industri rekaman.

Kondisi sumber daya manusia Indonesia dalam bidang musik tak pernah surut hingga sekarang. Ini bisa dilihat dari beberapa berikut:


  1. Tingginya kreativitas insan musik Indonesia

Tingginya kreativitas insan musik Indonesia terbukti dengan kualitas hasil karya musisi Indonesia yang mendapat apresiasi di dunia internasional, antara lain Anggun, Shandy Sandoro, Belawan, grup band Gugun Blues Shelter, White Shoes and The Couple Company yang penampilannya diulas positif oleh majalah Times dan harian The New York Times[4]. Selain itu, masih ada The S.I.G.I.T, Burger Kill dan The Trees and The Wild.


  1. Terus tumbuhnya kuantitas insan musik Indonesia

Salah satu indikasi terus tumbuhnya jumlah pelaku industri musik Indonesia adalah banyaknya ajang-ajang kompetisi bakat saat ini. Sebut saja di antaranya: Indonesian Idol, IMB, Galaxy Superstar, XFactor, Rock Festival, Dream Band, dan masih banyak ajang lain yang berpotensi melahirkan insan-insan musik baru yang berkelas.


  1. Sekolah musik dan vokal yang semakin banyak

Meski masih terkonsentrasi di kota-kota besar, keberadaan sekolah musik yang terus bertambah jumlahnya menunjukkan profesi pemusik sudah menjadi profesi yang sangat diminati. Berbeda dengan era tahun 1990-an atau sebelumnya di mana anak-anak atau remaja yang bercita-cita menjadi pemusik masih sering mendapat tantangan dari orangtua mereka. Alasannya prospek kesejahteaannyayang kurang meyakinkan. Kini, paradigma tersebut telah berubah. Orangtua bahkan menganjurkan anak-anaknya mengikuti kursus musik atau mengikuti kompetisi-kompetisi musik.

Kondisi sumber daya musik Indonesia sesungguhnya sangat potensial bagi upaya mengembangkan industri musik nasional. Akan tetapi, di antara suasana kondusif tersebut masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam berbagai aspek. Berikut setidaknya di antara kendala atau tantangan yang harus dihadapi dalam upaya pengembangan industri musik Indonesia:

a.Tingginya tingkat pembajakan di Indonesia.

Sangat tingginya tingkat pembajakan lagu di Indonesia, menurut studi yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tentang penerapan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di 12 negara Asia pada 2010 lalu menempatkan Indonesia dalam posisi buruk dengan skor 8,5 dari angka maksimum 10 poin. Sementara, United States Trade Representative (USTR) menempatkan Indonesia dalam status “priority watch list”, yakni status negara-negara yang menjadi prioritas untuk diperhatikan sebagai negara pembajak[5]. Pada 2002, kerugian pelaku industri musik dalam negeri akibat pembajakan diperkirakan mencapai Rp17,7 triliun. Memang isu pembajakan bukan masalah di Indonesia saja. Saat ini, industri musik dunia terpukul akibat adanya free download yangbelum menemukan solusi jelas hingga kini.

b.Dukungan pemerintah

Selain isu pembajakan, hal lain yang menjadi masalah dalam pengembangan industri musik Indonesia adalah masih belum maksimalnya perhatian pemerintah dalam bentuk apresiasi, misalnya kemudahan-kemudahan untuk go international. Saat ini, perizinan untuk konser atau ikut kompetisi ke luar negeri masih sering dikeluhkan. Di Inggris, demi membantu pertumbuhan ekspor industri musik lokalnya, pemerintah membentuk UK Music Office di New York, Amerika. Kantor perwakilan ini membantu semua musisi asal Inggris yang hendak memasuki pasar industri musik Amerika. Fasilitasi yang diberikan di UK Music Office diberikan secara cuma-cuma. Pemerintah Inggris sadar dengan makin banyaknya musisi negaranya yang masuk para ke pasar Amerika, penerimaan pajak pemerintah akan makin meningkat.

c.Masih minimnya infrastruktur/gedung pertunjukan

Masalah lain dalam pengembangan industri musik Indonesia adalah masih sedikitnya prasarana atau infrastruktur berupa gedung pertunjukan. Padahal dukungan infrastuktur untuk pertunjukan yang representatif dengan harga sewa terjangkau dapat menjadi model bisnis pilihan yang bisa menghasilkan income bagi para musisi atau pelaku industri musik lainnya, sehingga mereka tidak hanya tergantung pada penjualan cd atau dvd yang rentan pembajakan.

[1] Mulyadi, R Muhammad.Mengekspor Musik Indonesia.http://blogs.unpad.ac.id/lucky/?cat=4&paged=2

[2]Sen, Krishna & David T. Hall. 2006. Media, Culture and Politics in Indonesia. Jakarta: Equinox Publising

[3]Sakrie, Denny (Ed). 2007. Musisiku. Jakarta : Republika

[4]Harian Kompas, Jumat 28 September 2012

[5] Erfanie, Sairi (ed). 2010. Dinamika Industri Kreatif dalam Perekonomian Nasional. Jakarta: LIPI Press

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun