Mohon tunggu...
RuRy
RuRy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lahir di Demak Jawa Tengah

Orang biasa dari desa

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Sepercik Hikmah di Penghujung Ramadan

24 Juni 2017   09:44 Diperbarui: 8 Mei 2021   05:55 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbagi semangat.com

Betapa asyiknya membaur bersama para tukang becak di salah satu sudut pasar di Kota Semarang. Cukup lama saya berkesempatan membaur dengan mereka, di sana kami sesekali ngobrol dan saya bertanya-tanya tentang kehidupan mereka, namun tidak banyak pertanyaan yang bisa saya ajukan karena sebentar-sebentar mereka dapat tarikan penumpang mengingat kondisi pasar yang ramai menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Penampilan mereka sangat sederhana, sebagai layaknya seorang tukang becak. Perkataan mereka sedikit kasar, namun jujur apa adanya. Badan mereka kusut, dekil, karena setiap hari harus bersahabat dengan sengatan matahari. Namun satu hal yang membuatku terpesona, dalam setiap perkataan mereka selalu diiringi dengan senyuman polos.

Lalu di tengah obrolan kami, saya mencoba sedikit lancang untuk bertanya kepada mereka tentang penghasilan mereka sehari-hari. Dan kutanya bapak tukang becak yang berada di sebelahku.

"Pak... biasanya sehari mbecak dapat penghasilan sampai berapa?"

"Ya ndak pasti Mas, bergantung lagi ramai atau tidak tarikan (penumpang) tapi ya Alhamdulillah yang penting cukup buat makan sehari-hari," jawab beliau sambi mengangkat topinya.

"Oh ya, di rumah sudah punya anak berapa Pak?" tanyaku lagi. "Anak saya tiga, yang pertama dan yang kedua sudah kerja, sedang yang terakhir masih kelas 1 SMA," jawab beliau.

"Semuanya bisa sekolah kan Pak?"

"Iya Mas, Alhamdulillah saya bisa menyekolahkan ketiga anak saya hingga SMA dengan rezeki yang saya peroleh sehari-hari," jawab beliau kalem.

Mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan oleh bapak tukang becak tadi, serasa dunia sangat kecil, sempit, dan singkat. Betapa tidak, kata-kata yang diucapkannya bagaikan ucapan Sayidina Ali yang tegas menceraikan dunia.

Betapa kesadaran itu muncul dari lidah seorang tukang becak bukan dari seorang kiai atau ustad. Saya benar-benar menjumpai ungkapan syukur dalam sebuah prilaku nyata, bukan sekedar tausyiah yang sering diulang-ulang lewat pengajian. Dengan segala rasa campur aduk pada saat itu, saya berdoa semoga Allah memperjalankanku kepada peristiwa seperti itu. Bagiku ini adalah sesuatu yang jauh lebih mahal nilainya daripada sekedar mendapat beasiswa ke luar negeri.

Rury

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun