Mohon tunggu...
RuRy
RuRy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lahir di Demak Jawa Tengah

Orang biasa dari desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Kotori Mimbar "Ngaji" dengan Mencaci

11 Maret 2019   00:01 Diperbarui: 13 Januari 2020   22:15 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.nu.or.id

Jika sekedar mencari sosok pintar dan tahu agama banyak kita temui. Namun, menemukan sosok yang beragama dan beradab seperti mencari peniti di tumpukan jerami. (Rury)

Menuntut ilmu sungguh diwajibkan untuk menuntun seseorang dari kesesatan dan kegelapan. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan bagi penuntut ilmu adalah mencari keberkahan ilmu. Tentu saja keberkahan ilmu tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri akan tetapi juga bagi orang lain. Seperti halnya rezeki bukan masalah sedikit-banyaknya, tetapi keberkahannya. Begitu juga dengan ilmu.

Fenomena yang sering kita saksikan dewasa ini dimana mimbar ngaji sering disalahgunakan untuk mengolok dan mencaci pihak-pihak tertentu. Momen yang seharusnya untuk silaturahmi dan Tholabul 'Ilmi (mencari ilmu) berubah fungsi menjadi ajang mencaci. Jika kita mau berfikir mendalam seseorang yang benar-benar tahu agama, jangankan mencaci, bicara kasar saja dihindari. Istilah Jawanya orang yang tahu agama itu 'ngedem' (mendinginkan) bukan malah 'ngedu' (membenturkan sesama).

Dalam menjalani hidup yang penuh keberagamaan seharusnya seseorang bersikap lebih hati-hati, terutama jika orang itu sebagai publik figur yang mana semua ucapan dan tindakannya di dengar dan diamati banyak orang. Karena kesalahan seorang publik figur lebih berbahaya dibandingkan kesalahan yang dilakukan orang biasa.

Ucapan-ucapan yang tendensius sering diucapkan seorang yang notabene berpendidikan dan tahu agama yang mengancam keutuhan dan kesatuan dalam ranah keindonesiaan. Mereka seolah tak perduli atau memang tidak mengerti tentang 'kepatutan dan kepantasan' karena apa yang disampaikan menimbulkan persepsi juga opini di masyarakat. Jika hal ini tidak dipahami secara baik, bahaya perpecahan bisa terjadi.

Dari yang terjadi selama ini hendaknya kita lebih kritis dalam menyikapi, kualitas dan identitas seseorang yang dikatakan berpendidikan dan tahu ilmu agama tidak pada apa yang dikenakannya, namun apa yang disampaikan serta bagaimana caranya menyampaikan. 

Diakui sebagian masyarkat kita masih keder dalam memandang antara penampilan dan kepribadian, samar membedakan mana materi yang murni mengaji dan mana materi yang berunsur provokasi. Seolah moralitas bukan persoalan penting, faktor terkenal menjadikan seseorang buta mengidolakan tokoh/publik figur.

Mengidolakan dan cinta yang berlebihan menyebabkan kita tidak bisa berfikir secara tenang, bening, kritis, menjadi mudah dikendalikan dan dipermainkan, bahkan bisa sampai tahap merugikan dan membahayakan hidup. 

Begitu juga benci secara berlebihan menyebabkan tubuh memproduksi zat-zat stress yang menurunkan imunitas tubuh, otot menegang, jantung berdebar lebih cepat, tekanan darah naik, meridian tersumbat, dan energi pun tak bisa mengalir. Dan ini tentu membahayakan kesehatan tubuh.

Coba kita renungkan sebentar, pantaskah seseorang yang dikatakan tahu agama dan berpenampilan islami penuh rasa benci menghujat dan mencaci sana-sini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun