Mohon tunggu...
KAVA
KAVA Mohon Tunggu... Freelancer - a reader

Pasukan hujan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kinjeng Panuntun

11 September 2014   19:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:59 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14104142011180906044

“Kubeli lima ratus ribu!” seorang lelaki gendut paruh baya menawar kurungan kecil yang dibawa oleh Panun. Panun yang masih kaget mendengar tawaran sepuluh kali lipat dari harga dagangan yang biasanya, hanya menggerakkan mulut sambil komat-kamit kebingungan. Merasa tidak ada jawaban, lelaki gendut itu menjadi agak geram, “bagaimana? Mau atau tidak!” sentaknya.

Dua hari yang lalu Pantun mendapat Kinjeng yang tidak biasa. Kinjeng itu lebih panjang dan kecil, warnanya merah, dan sayapnya berwarna kekuning-kuningan. Panun tidak membawanya ke pasar untuk dijual. Kinjeng itu memang beum pernah dilihat kebanyakan orang sebelumnya. Ia selalu membawa Kinjeng kesayangannya itu kemana-mana. Saat mencari ikan di sungai untuk makan malam, atau memburu Kinjeng seperti kesehariannya. Panun seperti jatuh cinta dengan buruan yang didapatkannya tempo hari.

Hari ini Panun menjual Kinjeng-kinjeng di pasar. Dia juga membawa Kinjeng merahnya, namun tidak untuk dijual. Kinjeng itu dibuatkan kurungan khusus yang terbuat dari anyaman bamboo tipis buatan Panun sendiri. Kurungan itu berbentuk seperti ember terbalik, diatasnya ada tali rafiah yang ia ambil dari tiang jemuran belakang rumah. Panun mengikatkan kurungan itu dengan sela sabuk celana.

Panun sengaja membuat kurungan itu dai anyaman batang pohon bamboo. Dia merahasiakan keberadaan Kinjengnya yang satu itu. Celah yang dia buat untuk kurunganpun hanya sedikit. Tidak lebih dari setengah senti meter.

Kinjeng itu memang berbeda. Di malam hari, tubuh kecilnya akan bercahaya terang seperti permata dalam goa. Anehnya, cahaya itu seperti cahaya bintang biru yang jatuh dari angkasa. Warnanya sangat terang. Sayapnya yang berwrna kekuningan, bisa mengeluarkan serbuk emas saat dikepakkan. Tapi itu hanya terjadi di malam hari, saat matahari berangslup redup.

Panun sendiri mengetahuinya baru tadi malam. Saat dia mendapat mimpi buruk kemudian terbangun dan sadar bahwa ada cahaya yang menyilaukan matanya. Cahaya itu berasal dari kurungan yang dianyamnya. Saat dibuka, tiga sendok serbuk emas sudah ada di bawah sayap Kinjeng itu.

Panun kaget tak karuan. Dia panik dan berbicara sendiri seperti orang gila. Kinjeng merah itu tidak kabur. Dia senang bersama Panun. Kemudian, Panun memasukkan serbuk emas itu kedalam kantung hitam peninggalan ibunya sebelum meninggal.

“maaf, tak dijual” ucap Panun kepada lelaki gendut yang masih berdiri di hadapannya. Merasa tidak puas dengan jawaban Panun, lelaki itu pergi dengan tangan kosong dan hati yang dongkol.

***

Di desa ini, Kinjeng menjadi symbol kedamaian. Binatang keramat yang harus ada dalam setiap rumah. Untuk mendapatkan Kinjeng, warga harus berjalan dua kilo meter ke arah barat. Disana ada Hutan Njurut, tempat ratusan Kinjeng beterbangan. Tapi warga desa tidak mau bersusah payah. Mereka lebih memilih untuk membeli Kinjeng di pasar, kemudian dibawa pulang sebagai hadiah untuk rumah mereka. Panun satu-satunya pemburu Kinjeng yang masih ada. Dulu, ayahnya juga memburu Kinjeng, sekarang sudah meninggal.

Sebenarnya penjualan Kinjeng tidak menghasilkan banyak uang. Panun tak pernah menetapkan harga Kinjeng yang dijualnya. Ia selalu member kebebasan pada pelanggannya untuk menentukan harga sendiri. Biasanya mereka member upah panun dengan uang lima ribu rupiah. Tapi, ada juga yang tak sanggup membayar karena tidak punya uang. Tapi panun tak pernah mengeluh, dia senang bisa berbagi kebaikan terhadap sesamanya.

Senja sudah tiba. Malam ini, Panun sengaja tidak menyalakan lampu senthir seperti malam-malam yang usai. Panun yakin bahwa Kinjeng itu akan menyala lagi. Benar saja, pukul 7 malam, kijeng itu sudah berubah menjadi cahaya biru yang menyilaukan mata. Mbah Wira, sesepuh desa yang melihat cahaya dahsyat di rumah Panun, langsung lari menuju rumah pak RT dan membangunkan seluruh warga. Bunyi kentongan bersahutan meminta semua orang untuk bangun. Panun yang sudah tertidur pulas, tak peduli dengan suara di luar sana.

“Panun harus diusir! Aku melihat cahaya biru yang sangat terang dari rumahnya. Sama persis ketika  dua puluh tahun yang lalu sebelum terjadi tanah longsor di desa kita,” kata Mbah Wira.

Dua puluh tahun yang lalu, Mbah Wira melihat cahaya yang sama di rumah Panun. Saat itu, panun masih bayi, masih di gendong ibunya di ketiak. Cahaya itu seperti cahaya bintang. Belum lama ketika Mbah Wira menikmati keheranannya, tiba-tiba bukit di atas desa longsor dan terjadi gempa yang sangat dahsyat. Ratusan orang meninggal. Mbah Wira masih hidup, begitu juga Panun.

Ternyata Ayah Panun menemukan Kinjeng yang sama dua puluh tahun yang lalu. Cahayanya sama, eloknya sama, semua sama persis seperti yang terjadi malam ini.

Pak RT bersama warga desa berjalan menuju rumah Panun dengan amarah yang bergejolak dan oncor di tangan kanan mereka. “Bakar saja!” “ya, bakar!” “bakar rumah Panun!” terdengar suara bersahutan menghakimi rumah Panun. Tak ada yang memerintah, warga seketika melemparkan oncor-oncor yang mereka bawa ke rumah Panun yang hanya terbuat dari anyaman bamboo.

Buuussss! Api menjilati seluruh rumah tanpa menyisakan barang sedikit saja. Cahaya biru yang tadinya terang benderang, kini temaram termakan api. Panun sudah tiada.

Hujan turun sangat deras. Tidak seperti biasanya, ini musim kemarau, bukan musim penghujan. Tiga hari hujan tak juga reda. Semua orang tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Bahkan ada juga jalan setapak yang sudah mulai banjir. Tujuh hari telah usai, tapi hujan tak kunjung berhenti. Berbagai upaya telah digalakan untuk mencegah banjir, tapi air tak dapat di bendung. Kini desa itu menjadi desa mati berupa genangan air. Semua orang tahu, bahwa dewa telah marah karena yang mereka bakar bukan hanya Panun dan rumahnya, tapi juga Kinjeng Merah, kesucian yang harus dijaga. Sejak saat itu, jika ada yang melahirkan bayi laki-laki, selalu ada nama Panuntun di belakangnya. Mereka percaya bahwa Panuntun yang bersal dari nama Panun, akan menuntun mereka pada kedamaian yang dilambangkan oleh Kinjeng Merah yang suci.

*Kinjeng=Capung.

*Panuntun=Penuntun



Ruri Putri. Lahir dan tinggal di Klaten. Siswi kelas XI SMA N 1 Klaten. Menulis puisi, cerpen, dan geguritan. Belajar bersama Komunitas Penulis Anak Klaten (KOMPAK).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun