Baru sekali naik ojek online (ojol), saya sudah bikin sang pengojol (driver ojol) pucat pasi. Bukan karena saya todong. Tapi alih-alih saya menyuruh dia melanggar lalu lintas (lalin) biar cepat sampai, saya malah menjawil-jawil pundaknya sambil teriak (untuk mengalahkan suara bising lalin dan kupingnya yang ketutup helm) agar dia tertib saja.
Waktu itu, laju kami tersumbat karena ada kereta api mau lewat. Tanpa sedikit pun merasa bahwa itu salah --seakan kalo pakai motor lalu melanggar lalin itu sudah mengalir dalam darahnya-- dia main ambil jalur yang melawan arus aja.
"Saya malu tauk!!" seru saya di samping kuping kirinya.
"Biar cepat Bu!"
"Saya gak butuh cepat-cepat!"
Dia diam.
Sesampainya di tujuan, saya kembali menegur dia agar tertib saja. Reaksinya agak di luar dugaan. Dengan wajah menunduk, tengok sana tengok sini, pokoknya tak mau menatap saya, dia memberi diskon atas ongkos yang telah disepakati. Tadinya saya heran. Saya cuma menegur biasa saja, bak seorang guru pada muridnya, kok dia seperti syok begitu.
Setelah dia pergi, saya menyadari, kelihatannya dia takut diberi rating jelek. Padahal akhirnya teman saya yang memesankan ojol buat saya, tetap memberi rating "good". Ya sudahlah, setidaknya dengan mencoba memberi diskon, dia berarti sudah mengaku salah.
Begitulah, saya baru sekali naik ojol, dipesankan pula, eeh sudah melanggar. Bagaimana kalau sering dan butuh cepat? Mungkin lama-lama kompromis juga pada kelakukan ojol dan pemotor pada umumnya, apalagi kalau butuh cepat.
Sekilas membaca satu tulisan mengenai ojol, ternyata banyak pelanggan kompromis pada pelanggaran yang dilakukan ojol, bahkan pelanggannya juga yang menyarankan pelanggaran itu dilakukan.