Mohon tunggu...
Runaya Sayyidah Badriyyah
Runaya Sayyidah Badriyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menari

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahaya: Toxic Productivity pada Mahasiswa

1 Oktober 2022   22:08 Diperbarui: 1 Oktober 2022   22:09 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menjadi mahasiswa yang mempunyai jadwal kegiatan yang padat terkadang menyenangkan dan merasa keren, bukan? Tidak sedikit dari kita yang sering menghabiskan waktu dengan mengikuti kegiatan di kampus maupun di luar kampus. Bahkan terkadang terjadi bentrok antara jadwal kegiatan dengan jadwal kuliah. Sebenarnya, tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut, karena mahasiswa masih memiliki energik yang kuat. Maka dari itu, sangat disayangkan jika kita membuang waktu untuk hal yang tidak penting, lebih baik kita mengisi waktu dengan mengikuti kegiatan yang ada di kampus maupun di luar kampus. Tetapi kita harus selalu ingat, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Kebiasaan tersebut disebut dengan toxic productivity. Apa sih toxic productivity itu? Toxic productivity adalah keinginan tidak sehat yang dimiliki seseorang yang ingin terus produktif setiap saat dengan segala cara. Menurut Dr. Julie Smith, toxic productivity adalah sebuah obsesi untuk terus berbuat sesuatu apapun itu terutama untuk mengembangkan diri (do, be, and get more) dan dalam waktu seketika juga akan merasa bersalah kalau ternyata dirasa tidak melakukan banyak hal.

Fenomena ini juga dapat disebut sebagai action bias dan doing bias. Ini menunjukkan bahwa seseorang didorong untuk selalu produktif, sehingga sering menghasilkan hasil yang kurang ideal. Toxic productivity dan budaya hiruk pikuk adalah dua kondisi tambahan yang sering dikaitkan dengan toxic productivity. Meskipun mirip, ternyata ketiganya memiliki perspektif yang berbeda. Workaholic adalah kebutuhan yang tidak terkendali untuk bekerja, yang mengaruh pada pembentukan American Physiological Association. Sebaliknya, hustle culture adalah keyakinan bahwa kerja keras adalah bagian terpenting.

Saat seseorang tidak dapat memproduksi, menciptakan, atau mengerjakan sesuatu dan melihat orang lain lebih produktif daripada dirinya, maka orang itu akan merasa bersalah. Jika sedang diam, tak jarang menilai diri sendiri, bekerja terlalu keras, ekspektasi tidak realistis, sulit untuk beristirahat, tidak pernah merasa puas, kelelahan yang tidak biasa, selalu ingin produktif, terlalu memforsir dari sendiri. Orang yang selalu mengejar 'produktivitas' sampai mengabaikan kesehatan fisik juga mental, relasi dan interaksi sosialpun terganggu bahkan dengan orang-orang terdekat, menuntut diri terlalu berlebihan hingga tidak realistis dan mengalami persoalan ketika akan merogoh rehat sebab merasa istirahat itu menghalangi produktivitas, maka orang tersebut sudah terjebak pada toxic productivity.

Selain tidak baik untuk kesehatan mental, di kenyataannya toxic productivity sangat berdampak pada performa seseorang yang toxic productivity. Orang yang mengalami toxic productivity akan mengeluarkan segenap tenaganya serta akan merasa kelelahan. Namun, hasil yang didapatkan akan sama aja dan cenderung tidak terdapat peningkatan.

Kesibukan akan mendatangkan perasaan puas. Saat kesibukan itu membantu kita mendapatkan pencapaian, tubuh akan menghasilkan hormon dopamine, hormon yang memicu perasaan senang. Hal tersebut kemudian akan membuat kita semakin terpacu untuk terus produktif dan meraih pencapaian lainnya. Pada gilirannya, kita akan terus-menerus ketagihan sehingga produktivitas bisa mengakibatkan dampak kecanduan. Supaya tidak terjebak lebih dalam, kita harus mengenali ciri-ciri toxic productivity yaitu bekerja terlalu keras, ekspektasi tidak realistis, sulit untuk beristirahat, merasa bersalah jika sedang diam, acapkali menilai diri sendiri, tidak pernah puas, kelelahan yang tidak biasa.

Fakultas Kesehatan dari Universitas Indonesia, yaitu tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja melakukan survei mengenai keresahan mental remaja di usia 16-24 tahun yang dimana usia tersebut adalah usia rata-rata seorang pelajar. Hasil dari survei yang dilakukan secara online tersebut adalah sebanyak 96,4% menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui cara untuk mengatasi stress, 95,4% mengalami gangguan kesehatan mental seperti gejala kecemasan (anxiety), dan 88% mengalami depresi. Dari survei tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ada setidaknya sebagian pelajar yang mengalami hal tersebut karena toxic productivity.

Untuk mengatasi toxic productivity yaitu yang pertama, aware terhadap diri sendiridan melakukan self-evaluation. Kedua, memilih tujuan besar serta belajar memilah-milih. Ketiga, belajar memenejemen waktu. Keempat, peduli terhadap diri sendiri, dapat dilakukan dengan beristirahat, melakukan hal-hal yang disukai, dan lain-lain. Kelima, mengatakan kalimat afirmasi positif pada diri sendiri, seperti mengatakan sayang, maaf, terimakasih, dan semangat kepada diri sendiri. Toxic productivity juga dapat diatasi menggunakan Rule of 8, yaitu membagi waktu 24 jam kita menjadi 3 hal. "8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk leasure act, mengisi waktu luang, beristirahat, dan lain-lain. Dan 8 jam untuk personal growth.

Beberapa hal yang dapat diupayakan buat menghindari toxic productivity yaitu membentuk target, tujuan dan goal eksklusif yang realistis sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dengan Batasan-batasan yang ditentukan; ambil waktu untuk istirahat yang cukup dan memadai sebab tanpa itu apa yang dikerjakan juga menjadi tidak efektif dan efisien sehingga tidak bisa disebut produktif juga; nyaman dengan diri sendiri, tenang, dan focus -- mindfulness serta memang perlu mengembangkan diri semaksimal mungkin tetapi tidak perlu menjadi konyol dengan memaksakan diri. Tidak perlu merasa insecure ketika orang-orang sekitar sibuk dengan kegiatan atau pekerjaan mereka karena masing masing tidak sinkron kebutuhan dan tujuan.

Sembari menunggu perubahan besar diterapkan, ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi stress. Beristirahat secara teratur dari pekerjaan sangat penting. Memprioritaskan kesehatan mental dan fisik kita dan menyadari kapan harus istirahat ialah hal yang perlu dilatih. Jangan lupa, kita tidak dapat mencapai segalanya dalam hidup, jadi tidak ada gunanya menekankan hal-hal di luar kendali kita. Belajar untuk melepaskan; keadaan pasti akan menjadi lebih baik.

Toxic productivity ini memang menimbulkan dampak yang baik juga bagi mahasiswa atau pelajar, seperti tugas sekolah diselesaikan dengan cepat. Namun, jangan lupakan efek samping bila terlalu memaksakan hal tersebut. Tanggung jawab memang harus dilaksanakan, tapi kesehatan mentalpun harus dijaga agar hidup dalam kedamaian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun