Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Cinta Tak Direstui...

28 Desember 2011   08:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:39 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja hari di rumah kayu. DEE dan Kuti duduk di beranda rumah mereka ditemani teh hangat dan beberapa potong kue bolu. Sementara itu si kecil Pradipta bermain bola di halaman. “ ‘yang, “ Dee membuka pembicaraan. “ Mmm… “ jawab Kuti . “ Aku ingin tahu, “ kata Dee, “ Sebetulnya yang paling memberatkan pak Widodo untuk memberikan restunya bagi Rangga dan Widuri untuk menikah itu apa, ya? “ “ Maksudmu? “ tanya Kuti, “ Pak Widodo memiliki banyak sekali keberatan tentang itu, Dee…” “ Iya, “ jawab sang istri, “ Aku tahu. Tapi, yang mana yang paling memberatkan? Perkenalan melalui facebook? Sang pacar yang terlalu agresif -- karena Widuri yang lebih sering mengunjungi Rangga -- atau karena Widuri tak segan- segan menunjukkan kemesraan pada Rangga di muka umum, atau apa?" Kuti tertawa. Dipijitnya perlahan hidung sang istri. “ Kamu ini… “ komentarnya. Khas Dee, pikir Kuti. Menanyakan hal- hal yang gampang- gampang susah. Apa pasal pak Widodo tak menyukai hubungan Rangga dan Widuri, semua orang di lingkungan tempat tinggal mereka rasanya sudah tahu. Tapi, perkara mana yang paling berat menurut pak Widodo… waduh, mana Kuti tahu? “ Aku tidak tahu, Dee, “ akhirnya Kuti menjawab. “ Tapi aku duga, gabungan dari semua itu. Bahwa Rangga berpacaran dengan seseorang yang dikenalnya melalui facebook, pacarnya agresif dan gaya pacarannya begitu “canggih”, tentu sulit diterima oleh pak Widodo yang sangat konservatif…” Dee menggigit kuenya. Dinikmatinya rasa kue tersebut perlahan. Beberapa saat kemudian baru Dee mengeluarkan kembali suaranya. “ Perkenalan melalui facebook itu, memangnya itu salah gitu ‘yang? “ tanya Dee. Eh?! Kuti terperanjat. Dia mendapat kesan bahwa Dee tak menganggap aneh pasangan yang berkenalan melalui facebook. Padahal, Kuti tahu benar bahwa Dee bukan penggila facebook dan bahkan sampai hari ini tak berminat membuka account pribadi dengan namanya di facebook. Satu- satunya account yang dia miliki adalah account yang pernah dibuatkan Kuti dulu, untuk keperluan blog mereka. “ Menurut kamu sendiri gimana? “ Kuti mengembalikan pertanyaan itu pada Dee. “ Kalau menurut aku siiiihhhhh… nggak ada bedanya orang kenalan di facebook, atau di sekolah, atau di kantor, atau dimanapun juga… Itu sekedar jalan pembuka, kan? Jikapun mereka mulanya berkenalan di facebook, perkenalan itu kemudian diikuti dengan pertemuan. Dan setelah bertemu itulah lalu mereka merasakan kecocokan, makin dekat dan memutuskan untuk menikah. Artinya, hubungan ini memang hubungan yang nyata walau dimulai dengan perkenalan di dunia maya… “ “ Begitu, ya? “ komentar Kuti. “ Begitu menurutku, “ jawab Dee, “ Aku berpendapat, perkenalan memang dapat terjadi dimana saja, kapan saja. Tak ada yang salah dengan cara perkenalan apapun, sepanjang niat berkenalannya baik, dan dilakukan dengan cara- cara yang baik dan santun, serta setelah perkenalan itu, kedua belah pihak bersikap jujur dan terbuka satu sama lain… Dan mereka berdua lajang, toh? Jadi... menurut aku sih, yaaa... boleh- boleh saja... “ Hmmm… “ Dan kamu percaya bahwa perkenalan yang dimulai di dunia maya, jika dilanjutkan di dunia nyata sampai berumah tangga, bisa langgeng? “ Dee mengangkat bahu. “ Mengapa tidak? " Percakapan terhenti sementara ketika terdengar pekik tawa Pradipta dari halaman. Kuti menoleh sejenak memperhatikan si kecil yang masih terus bermain bola. Kemudian, setelah beberapa saat, dia memalingkan kembali kepalanya pada istrinya. Tampak Dee sedang meneguk teh hangatnya. Kuti tersenyum. Diraihnya cangkir di atas meja, dan dia juga mulai meneguk tehnya. Saat dia sedang menikmati teh hangat itulah, suara Dee terdengar kembali. “ Pasal berkenalan di facebook, aku rasa sebenarnya bisa dicoret dari daftar keberatan. Tapi… jika memang benar Widuri itu ternyata sedemikian agresif dan tanpa segan- segan menciumi Rangga di muka kedua orang tuanya yang jelas- jelas berfaham konservatif itu… nah, itu sebenarnya yang menurut aku perlu dipertanyakan. Bukan apa- apa, bagaimanapun, walau mungkin memang karena beda generasi sehingga ada perbedaan pola pergaulan, tapi Widuri seharusnya mengerti bahwa apa yang dilakukannya dapat membuat jengah, atau bahkan dapat membuat orang tua Rangga memiliki pandangan negatif terhadapnya. Menurutku, seharusnya dia dapat menahan diri tentang hal ini… Tak terlalu sulit kan, mestinya? “ Kuti tersenyum. Memang sih, tak terlalu sulit sebetulnya. Bukan hanya Widuri, pikir Kuti, seharusnya Rangga juga memperingatkan pacarnya. Bagaimanapun, Rangga tentunya mengerti seperti apa pandangan kedua orang tuanya terhadap kepatutan pergaulan. Rangga seharusnya turut menjaga perasaan orang tuanya dan membantu Widuri memahami batasan yang dapat diterima. “ Dan, bagaimana tentang keterlibatan uang ratusan juta yang membuat bu Lestari merestui hubungan Rangga dan Widuri itu Dee? “ tanya Kuti, “ Bagian yang ini, wajar tidak menurutmu? “ Dee tertawa. “ Ah ‘yang, “ jawab Dee, “ Menurut aku, uang ratusan juta itu ‘hanya’ bonus, koq. Aku rasa, walau tak terlalu menyetujui keagresifan Widuri, tapi sejak awal bu Lestari memang dapat menerima hubungan Rangga dan Widuri. Entah pertimbangannya apa, tapi kemungkinan besar karena bu Lestari menganggap Rangga sudah dewasa dan bisa serta berhak memilih pasangan hidupnya sendiri. Mungkin juga, diluar sikapnya yang agresif, Widuri sebenarnya memiliki sifat- sifat lain yang menyenangkan… Kita tak tahu itu. Bu Lestari yang tahu. Tapi aku yakin, tanpa uang ratusan juta itupun, bu Lestari toh tetap akan merestui pernikahan Widuri dan Rangga…” Kuti meneguk tehnya lagi. Dia belum sempat bicara ketika Dee dengan agak lirih berbicara, “ Tapi ‘yang… kalau benar bahwa bahkan sampai saat inipun pak Widodo belum merestui pernikahan ini… aku sungguh prihatin. Bagaimanapun, restu orang tua akan sangat memperlancar dan memudahkan kehidupan pernikahan ke depan… “ Kuti meletakkan cangkirnya dan mengambil sekerat kue bolu. Digigitnya kue bolu itu. Ketika itulah didengarnya suara Dee, “ Aku jadi ingin tahu deh ‘yang… teman- teman kita yang suka baca tulisan di blog rumahkayu , pendapatnya bagaimana ya, tentang perkenalan melalui internet, gaya pacaran yang terlalu “canggih” dan mengenai restu orang tua saat pernikahan...“ Kuti menjawab, “ Ya, aku juga ingin tahu, “ katanya, " Nanti kita tanyakan ya? " Dee mengangguk. Sementara itu, di halaman, Pradipta masih tertawa riang sambil menendang bola ke arah gawang yang dibatasi dengan dua buah sandal…

** gambar diambil dari: http://xkcd.com/55/ **

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun