Mohon tunggu...
Rumah Belajar Persada
Rumah Belajar Persada Mohon Tunggu... -

Pokoknya dimana saja,kapan saja, dan bersama siapa saja; belajar itu sebaiknya jalan terus.... We Can Do It !\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Obor Yang Padam, Sebuah Ekspedisi di Kampung Naga

13 Oktober 2013   20:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:35 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_271897" align="aligncenter" width="512" caption="Bersahaja namun penuh makna (dok WS)"][/caption]

Akhirnya malam rebah sempurna di Kampung Naga, saat petromaks dan lampu berbahan bakar minyak tanah dinyalakan, maklum mereka menolak tawaran pengaliran listrik ke wilayah adat mereka meski gratis sekalipun,”Rumah-rumah kami dibangun dengan bahan-bahan yang mudah tersulut api, kalau ada kortsluiting rawan kebakaran.” Tutur Pak Sujad, pemandu rombongan Homeschooling Kak Seto (HSKS) Jatibening, memaparkan pertimbangan sederhana penolakan warga desa. Padahal bukan hanya PLN, sebuah institusi dari Belanda pun sudah menyatakan siap menghadiahkan turbin pembangkit listrik plus pemasangan-perawatannya secara cuma-cuma. Alasan serupa juga dikemukakan saat mereka menolak kehadiran kompor gas.

Senter-senter disiapkan oleh para homeschoolers karena agenda malam ini adalah berkumpul di Bale Kampung untuk menyimak penuturan sesepuh kampung tentang seluk beluk komunitas yang terkenal dengan potensi kearifan lokalnya yang tinggi ini. Maka berombongan mereka keluar dari pondok masing-masing, menyusuri lorong-lorong sempit jalan tanah-batu menuju ke pusat kampung. Sebagian menunaikan shalat dulu di mesjid yang khas desainnya di sebelah Bale sebelum akhirnya semua bergabung lesehan dalam ruang Bale yang terhampar tanpa sekat. Sebuah senter yang nyalanya ekstra terang diletakkan di depan untuk sedikit mengatasi kegelapan. Suara canda terdengar di sana-sini meski tak senyaring biasanya. Lalu reda saat Pak Sujad datang mengiringkan seorang kakek yang berpakaian pangsi dan mengenakan ikat kepala khas Kampung Naga.

[caption id="attachment_271898" align="aligncenter" width="512" caption="Berharap jumpa dengan kunang-kunang ...(dok WS)"]

1381669042499995122
1381669042499995122
[/caption]

Kakek tersebut bernama Suharyo (75) dan merupakan salah seorang Kepala Dusun (Kadus) di kawasan Kampung Naga. Dia memaparkan struktur pemerintahan di wilayah adat itu terdiri atas struktur formal sesuai ketentuan pemerintah Indonesia dan struktur adat. Ada tiga jabatan utama dalam struktur pemerintahan adat Kampung Naga, yakni Kuncen, Lebe, dan Punduh. Kuncen menempati posisi tertinggi dan wewenangnya adalah memimpin semua prosesi adat utama, termasuk jarah makam (ziarah makam leluhur, -pen.) yang dilaksanakan sebanyak enam kali dalam setahun di area yang dikeramatkan, jabatan ini sifatnya turun temurun, dan sekarang dijabat oleh Ade Suhendar. Sementara Lebe, yang kini diduduki oleh Ateng Jaelani,  memiliki tugas yang berhubungan dengan prosesi keagamaan, termasuk pengurusan jenazah sampai tuntas dimakamkan. Hal-hal yang melibatkan interaksi sosial antar warga ditangani oleh Punduh, saat ini dijabat oleh Ma’un, yang diistilahkan nguntun laku, meres gawe (pengayoman terhadap warga, -pen.). Semua posisi itu memiliki masa pengabdian seumur hidup selama yang bersangkutan masih mampu.

Saat memasuki paparan tentang sejarah asal muasal terbentuknya Kampung Naga, Kadus Suharyo melontarkan ungkapan Sunda pareumeun obor yang makna harafiahnya ‘padamnya nyala obor’ dan intinya mereka kehilangan jejak akibat musibah pembakaran kampung mereka pada tahun 1956 yang konon terjadi saat meletupnya pemberontakan DI/TII di masa itu. Semua catatan sejarah lenyap dan tersisa adalah monumen pangsolatan berupa beberapa batu sungai yang disusun di tanah menjadi alas sholat nenek moyang mereka.

[caption id="attachment_271900" align="aligncenter" width="504" caption="Dari dapur ke ekspedisi ...(dok WS)"]

13816692191291860289
13816692191291860289
[/caption]

Kampung Naga tak mengenal istilah ‘bencana alam’ karena, dalam pandangan mereka, semua musibah yang melibatkan alam pada dasarnya terjadi karena ulah manusia yang tak bersahabat dengan alam. Itulah sebabnya mereka sangat patuh dalam urusan menaati segala pamali (= tabu,-pen. ) yang diwejangkan oleh para karuhun (leluhur). Hutan keramat yang diharamkan untuk diinjak warga setempat maupun pendatang tetap menjadi area yang tak terjamah selama puluhan tahun berselang dan saat ditanyakan tentang sanksi, “Wah, tidak tahu, soalnya belum pernah ada yang melanggar...” Tutur polos seorang warga saat kami berbincang. Ketaatan ini berbuah manis pada udara, air, dan tanah yang relatif bebas polusi. Jadi jangan kaget kalau di Amrik sono ada air keran langsung minum hasil teknologi sterilisasi, di Kampung Naga ada air semacam itu produk alami langsung dari mataair pegunungan yang berdasarkan hasil penelitian laboratorium ITB maupun Belanda dijamin tidak bakalan bikin sakit perut!

Satu lagi, wilayah pemukiman adat ini berada di area lembah yang dalam bahasa Sunda disebut na gawir, hingga dikenal dengan sebutan kampung na gawir. Namun seiring perjalanan waktu dan aspek kepraktisan dalam pengucapannya, sukukata wir lenyap, yang tersisa tinggal Kampung Naga ...ternyata tak ada hubungannya dengan liong atau dragon, ya?

Para homeschoolers menyimak semua keterangan yang diuraikan Kadus Suharyo menggunakan bahasa gado-gado Sunda campur Indonesia itu dengan antusias, termasuk saat menanyakan hal-hal yang diperlukan untuk mengisi lembar kerja mereka. Namanya juga outing, jelaslah ada agenda hunting data untuk bahan makalah yang bakal dipresentasikan nantinya. Sesi tanya jawab kemudian ditutup dengan acara foto bersama Kadus lantas mereka pun bergerak keluar Bale menyusuri kepekatan malam diiringi iming-iming Pak Sujad,”Siapa tahu bisa sekalian melihat kunang-kunang...” Tentu saja semangat pun jadi ekstra berkobar. Selain itu menyusuri area pedesaan di malam hari di bawah taburan bintang, kan, tidak setiap hari mereka lakukan; makanya ...sesuatu banget,deh! Meski sang kunang-kunang ternyata tak kunjung nongol sampai mereka mencapai pondok masing-masing, tak ada yang protes atau kecewa. Selanjutnya waktu untuk ...zzzzzzzzz. [caption id="attachment_271901" align="aligncenter" width="504" caption="Mengamati,mencatat, mencoba memahami ...(dok WS)"]

1381669484674572756
1381669484674572756
[/caption] Pagi hari tentu saja dibuka dengan memenuhi aneka panggilan alam termasuk antri mandi di fasilitas jamban umum seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya (*). Setelah beres itu, acara berikut buat Bu Wina adalah mengamati nyonya rumah pondokannya masak menggunakan tungku kayu dan peralatan tradisional lainnya di dapur. Tentu saja, Kak Mirda dengan sigap mengabadikan hal itu. Menu pagi itu telur matasapi, mie goreng, krupuk, tempe selimut, dan, tentu saja,...sambal. Beres mengisi perut,saatnya menggiring para homeschoolers melakukan ekspedisi mini untuk penyusunan laporan dan naskah presentasi akhir semester nanti. Maka begitulah dipandu Pak Sujad dan para kakak guru,mereka pun melakukan penjelajahan ke seluruh pelosok Kampung Naga untuk menyaksikan sendiri berbagai hal seputar kehidupan warga Kampung Naga yang merupakan pemeluk agama Islam dengan matapencaharian utama bertani. Observasi juga dilakukan pada lingkungan Mengumpulkan dedaunan aneka jenis, memotret sisi-sisi yang harus diabadikan, membuat rekaman video, dan ... mencicipi kesegaran air yang steril alamiah di sana.

[caption id="attachment_271903" align="aligncenter" width="504" caption="Naik, naik, ke tempat parkir...pantang menyerah! (dok WS)"]

13816697061333659909
13816697061333659909
[/caption] Jelang tengah hari para homeschoolers sudah rapi-jali membenahi segala perlengkapan mereka, berpamitan pada para warga, dan ...ini dia! Saatnya mempersiapkan semangat tempur untuk mendaki 439 jenjang anak tangga menuju pelataran parkir dimana bis yang akan membawa mereka pulang sudah menunggu. Kali ini kakak-kakak guru dan para anak didiknya sangat kompak dalam ...mengatur napas serta dengkul yang mendadak sulit diajak kerjasama. Saat oksigen mulai susah dihirup, mereka parkir sejenak duduk atau berdiri diam sebelum kembali melanjut perjalanan. Namun berkat kesungguhan hati, satu persatu dan akhirnya segenap pasukan HSKS Jatibening sukses mencapai pelataran parkir dengan selamat. Tak berapa lama bis berAC yang sunyi senyap melaju membawa penumpang yang sebagian besar tertidur pulas kelelahan sampai tiba di perhentian pertama, sebuah pusat jajan oleh-oleh. Beberapa homeschooler dudes duduk lesehan di depan lapak sembari berbagi camilan yang mereka beli ...so sweet!
13816699761336176899
13816699761336176899
Perjalanan kembali dilanjut ke sebuah rumah makan khas Sunda dengan saung-saung yang dikelilingi kolam ikan. Acara makan siang pun berlanjut dengan kemeriahan canda dan polah khas para homeschoolers termasuk mencandai para kakak guru. Usai bersantap,seperti biasa saatnya outing awards bagi homeschoolers dan kakak-kakak guru. Selamat bagi para penerima penghargaan, yang belum kebagian...ayo, berjuang di kesempatan berikutnya!

13816703111115241362
13816703111115241362

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun