Mohon tunggu...
Yadi Mulyadi
Yadi Mulyadi Mohon Tunggu... Dosen - Arkeolog

Arkeolog dari Bandung tinggal di Makassar dan mengajar di Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Warisan Budaya Bahari, Kejayaan Maritim Nusantara

5 November 2016   12:26 Diperbarui: 5 November 2016   12:43 1595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aktifitas kemaritiman memungkinkan adanya kontak budaya yang intensif dan mencangkup ruang geografis yang luas. Kontak budaya yang terjadi melalui pelayaran dan perdagangan antar pulau dan antar benua, memunculkan asimilasi dan akulturasi budaya yang memberikan corak beragam budaya di wilayah Nusantara yang kini menjadi warisan budaya bahari bangsa. Dalam pelayaran didukung oleh adanya kemahiran teknologi dan tradisi pembuatan perahu serta pengetahuan navigasi. Tradisi pembuatan perahu tradisional menjadi salah satu warisan budaya yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan, salah satunya tradisi pembuatan perahu Pinisi di Bulukumba. 

Pinisi, phinisi, pinis, pinas adalah beragam nama untuk perahu kebanggaan bangsa Indonesia ini. Kata Pinisi yang lebih dikenal dan melambangkan pelayaran Nusantara, sebagai suatu tradisi yang telah berlangsung sejak jaman prasejarah. Hal ini dapat kita lacak dari jejak lukisan gua prasejarah berupa gambar perahu dan juga gambar ikan. Artinya, nenek moyang kita telah mengenal teknologi perahu dan pengetahuan untuk menangkap ikan salah satu wujud nyata aktifitas kemaritiman yang melahirkan budaya kebaharian. 

Kontruksi Pinisi adalah gabungan pengetahuan dan pengalaman tradisional kuno dan disertai ritual ketat yang harus diikuti untuk memastikan keamanan di laut. Para pengrajin yang dipimpin Panritalopi harus mengitung hari baik untuk memulai pencarian kayu, penebangan, awal pembuatan, sampai peluncuran kapal ke perairan tak lepas dari upacara adat. Perahu tipe Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar, dengan dua tiang dan seluruhnya tujuh sampai delapan helai layar. 

Tiang belakang lebih pendek daripada tiang depannya, dan andang-andang layarnya terpasang tetap di tengah-tengah kedua tiang itu. Jenis layar itu dicap ‘Sekunar Nusantara’ untuk menandai, bahwa namun agak serupa dengan jenis-jenis sekunar lainnya, ia memiliki beberapa sifat khas (Liebner, 2012).

Panritalopi adalah istilah atau gelar yang sangat dihargai di masyarakat Bugis Makassar yang artinya adalah orang-orang yang memiliki keahlian membuat kapal. Proses pembuatan kapal yang dipimpin oleh Panritalopi ini masih sangat menjaga tradisi. Dan untuk itu kita patut berterima kasih kepada para Panritalopi. "Panritalopi" sebagai julukan untuk Bulukumba telah dikenal sampai ke luar negeri. Namun sangat sedikit yang mengetahui siapakah sebenarnya sosok pencetus "Panritalopi". Merujuk pada pemberitaan di di www.rca_fm.com dsebutkan bahwa, Jafar Palawang adalah sosok di balik penamaan tersebut. Jafar adalah seorang seniman teater dan seni rupa di Kecamatan Bontobahari. Pada tahun 1990-an, dialah yang pertama kali mencetuskan istilah "Panritalopi". Jafar mulai menggunakan istilah tersebut dalam spanduk yang berbunyi"Selamat Datang Di Bumi Panritalopi" dalam sebuah acara berskala kabupaten di Kecamatan Bontobahari. Oleh publik dan Pemerintah Kabupaten Bulukumba dari masa ke masa, istilah "Bumi Panritalopi" lama kelamaan berubah tulisannya menjadi "Bumi Panrita Lopi" bahkan kemudian berganti menjadi "Butta Panrita Lopi". Hampir semua media pun terjebak dalam kesalahan penulisan itu.

Menurut Jafar, penulisan 'Butta Panrita Lopi' itu tidak tepat, sebab istilah butta bermakna lain, maknanya sangat sempit jika memakai nama butta. Berbeda dengan Butta Kajang ataupun Butta Toa Bantaeng yang memang sudah sesuai artinya menurut geografinya. Yang tepat adalah 'Bumi Panritalopi', tulisan panrita dan lopi pun tidak boleh dipisahkan, harus bersambung menjadi 'Panritalopi'. Di Bulukumba inilah para Panritalopi dengan tekun dan setia menjadi penjaga tradisi Pinisi, tepatnya di Desa Ara, Tana Beru dan Lemo-lemo yang terkenal karena kepandaiaan masyarakatnya dalam membuat Pinisi. 

Para Panritalopi begitu tekun dalam membuat Pinisi, dikerjakan dengan hati-hati ibarat sementara menanti kelahiran bayi. Dalam proses pembuatan Pinisi, mulai dari penentuan hari baik sampai peluncuran Pinisi ke lauat, mengandung nilai-nilai kearifan lokal atau nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu, antara lain kerjasama atau gotong royong, kerja keras, ketelitian, keindahan, dan religius. Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan antara Panritalopi atau Punggawa dan para sawi (tukang-tukang lainnya) serta calon-calon sawi serta tenaga-tenaga yang lainnya. Masing-masing mempunyai tugas tersendiri.Tanpa kerjasama yang baik, Pinisi tidak dapat terwujud dengan baik. Bahkan, bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah terwujud.

Nilai kerja keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu terbaik untuk bahan Pinisi. Proses penebangannya pun diperlukan kerja keras karena masih menggunakan peralatan tradisional (bukan gergaji mesin). Nilai ini juga tercermin dalam pemotongannya yang tidak boleh berhenti sebelum selesai (terpotong) dan pemasangan atau perakitannya yang membutuhkan kerja keras. Selain itu, nilai ini juga tercermin dalam pendempulan dan peluncuran karena untuk memindahkan perahu dari galangan bukan merupakan hal yang mudah. 

Nilai ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu). Nilai keindahan dari bentuknya yang dibentuk sedemikian rupa sehingga tampak kuat, gagah, dan indah. Nilai religius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan upacara agar “penunggunya” tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin dalam doa ketika perahu akan diluncurkan ke laut:“Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir”, yang artinya “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu”.

Pinisi pun sebagai warisan budaya pun merupakan perwujudan dari tradisi dan ekspresi lisan sebagaimana diceritakan dalam salah satu fragmen kisah Epos La Galigo, disebutkan tokoh yang bernama Sawerigading membuat kapal besar untuk mengarungi dunia dan mencari jodohnya. Konon, ketika kapal Sawerigading dalam pelayaran pulangnya ke kampung halamannya di Tana Luwu pecah terhempas ombak, sisa-sisa pecahan kapal tersebut kemudian  terdampar di Desa Ara dan Tana Beru, sedangkan tali temalinya terdampar di Bira. 

Orang-orang Ara dan Tana Beru lalu mempelajari serpihan papan dan lunas perahu tersebut sehingga menjadi orang-orang yang mahir membuat perahu, sedangkan tali temali dan kemudi yang terdampar di Bira menjadikan orang-orang Bira sebagai pelaut-pelaut ulung. Terlepas dari benar tidaknya cerita tersebut, Tana Beru memang terkenal sebagai salah satu tempat pembuatan perahu tradisional Pinisi yang sudah dikenal sampai ke mancanegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun