Mohon tunggu...
Yadi Mulyadi
Yadi Mulyadi Mohon Tunggu... Dosen - Arkeolog

Arkeolog dari Bandung tinggal di Makassar dan mengajar di Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harta Karun Bawah Laut Versus Arkeologi Bawah Air

6 Maret 2021   09:12 Diperbarui: 6 Maret 2021   09:20 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keberadaan airlah yang menyebabkan munculnya arkeologi bawah air, dominasi air yang begitu besar menjadikan hampir 70 % permukaan bumi adalah air. Sebagian besar air menjadi lautan yang menjadi pemisah antar daratan. Untuk menaklukan lautan manusia dengan akalnya menghasilkan budaya maritim yang merupakan refleksi kehidupan dalam mengarungi lautan. Hasil budaya maritim tersebut, salah satunya adalah perahu dan kapal yang berfungsi sebagai sarana transportasi untuk menjelajahi lautan sehingga memungkinkan manusia berpindah dari satu daratan ke daratan lainnya di muka bumi ini. Dengan kapal pula manusia, mengadakan perjalanan jauh membawa komoditi perdagangan untuk mereka jual di daratan lain atau pulau lain.

Bahkan dengan itu pula manusia memberangkatkan armada perangnya untuk menyerang suatu wilayah lain, seperti yang dilakukan oleh Amangemon Raja Sparta yang mengirimkan ribuan kapalnya untuk menyerang Troy guna merebut kembali permaisurinya yang diculik oleh Panggeran Paris dari Troy. Dalam khasanah lokal terdapat sebuah kisah yang termaktub di epos Lagaligo, diceritakan Sawerigading membuat kapal yang besar untuk mengarungi dunia dan mencari jodohnya, sehingga dari mitos tersebut di Sulawesi Selatan dikenallah kapal Saweri Gading. Konon, ketika kapal Sawerigading dalam pelayaran pulangnya ke kampung halamannya di Tana Luwu pecah terhempas ombak, sisa-sisa pecahan kapal tersebut kemudian terdampar di desa Ara dan Tana Beru sedangkan tali temali terdampar di Bira. Orang-orang Ara dan Tana Beru lantas mempelajari serpihan papan dan lunas perahu tersebut sehingga menjadi orang-orang yang mahir membuat perahu, sedangkan tali temali dan kemudi yang tedampar di Bira menjadikan orang-orang Bira sebagai pelaut-pelaut ulung. Terlepas dari benar tidaknya mitos tersebut, Tana Beru yang terletak di Kabupaten Bulukumba memang terkenal sebagai salah satu tempat pembuatan perahu tradisional Pinisi yang sudah dikenal sampai ke mancanegara.

Aktifitas manusia dengan kapal dan perahunya dalam berlayar untuk mengarungi lautan bukan berarti tidak mendapatkan kendala. Tidak semua pelayaran yang mereka lakukan berhasil sampai ke tujuannya. Sehingga hal yang lumrah ketika terjadi musibah kapal tenggelam saat mereka berlayar di lautan atau kapal yang karam karena dihantam serangan dari musuh saat mereka bertempur di lautan.

Sejak pertama kali manusia mengenal kapal maka sejak itu pula musibah kapal tenggelam terjadi dan akhirnya kemudian karam di dasar laut. Hal itu menjadi daya tarik bagi sebagian orang untuk mengetahui lebih jauh tentang kapal karam tersebut. Hal yang paling menarik buat mereka adalah, 'harta karun" yang terdapat di kapal karam tersebut. Karena kapal-kapal yang karam biasanya juga merupakan kapal yang mengangkut komoditi perdagangan yang ada pada masa itu, seperti logam mulia, keramik, porselin maupun beragam bentuk senjata yang terdapat dalam kapal yang nilainya sangat mahal. Awalnya kegiatan arkeologi bawah air belumlah dikenal, yang ada hanya perburuan-perburuan harta karun dari kapal karam. Selama ribuan tahun, para pemburu harta karun itu hanya dilengkapi dengan alat-alat seperti jaring, penangkap atau grab dan kait yang mereka pergunakan untuk mendapatkan harta karun dan itu pun hanya dapat dilakukan di perairan yang dangkal dan jernih karena teknologi pakaian selam belum ada pada saat itu.

Pada banyak lokasi yang mudah dijangkau, perburuan harta karun ini terus berlanjut secara perlahan hingga berabad-abad lamanya, dalam beberapa hal ditandai pula dengan meningkatnya rasa penasaran dan ingin tahu mereka dan terkadang para pemburu harta karun menggabungkannya juga dengan penyelidikan arkeologi yang sebenarnya. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan perburuan harta karun dilaksanakan secara lebih efisien dengan adanya pengembangan peralatan yang memungkinkan manusia untuk turun langsung ke dasar laut yang dimulai oleh Bells pada abad 17 sampai munculnya peralatan selam standar di abad ke -19, tepatnya tahun 1890 diciptakan peralatan selam sederhana berikut tabung udara yang dibuat oleh Alexander Lambert, seorang warga negara Inggris. Ujicoba peralatan  tersebut dilakukan sendiri oleh Alexander Lambert ini. Keamanan pemakaian alat selam ini belum teruji karena pada waktu itu belum dikaji mengenai pengaruh tekanan terhadap penyelam.

Penyempurnaan terhadap alat selam yang diciptakan oleh Alexander Lambert terus-menerus dilakukan oleh berbagai pihak, hingga pada tahun 1912 Amerika Serikat berhasil menciptakan peralatan selam modern dengan mempergunakan tabung udara. Dan pada tahun 1943 Jacques-Yves Cousteau dan Emile Gagnan berhasil menciptakan peralatan selam modern yang mempergunakan tangki scuba sehingga penyelaman dapat dilakukan untuk jarak yang lebih dalam dengan waktu yang lebih lama serta keamanan yang lebih terjamin.  Pada abad itu juga arkeologi yang semula hadir dari spekulasi pemburu harta karun yang tak terkendali menjadi ilmu yang sistematis, sehingga pencarian kapal karam pun menjadi objek kajian para arkeolog. Dari situlah cikal bakal munculnya arkeologi bawah air menjadi salah satu bagian dari disiplin ilmu arkeologi yang memfokuskan pada tinggalan arkeologi yang terdapat di bawah air.

Jika kita merujuk jauh ke masa lampau, aktifitas bawah air yang tercatat dalam sejarah pertama muncul pada abad ke-11 Masehi ketika Abbat Ealdred dan St. Albans mengirimkan orang-orangnya ke  reruntuhan Verulamium untuk mengumpulkan batu-batuan untuk membangun Biara barunya. Selama memgumpulkan batu-batuan terebut,  mereka menemukan kayu dengan paku yang merupakan bagian dari tiang puncak sebuah kapal. Pada abad berikutnya tepatnya tahun 1446 Leon Battuta Alberti  melakukan usaha penyelaman untuk tindakan penyelamatan terhadap kapal-kapal Romawi yang telah karam di danau Nemi Italia. Sedangkan pada tahun 1535 Francisco Demarchi  melakukan penelitian kapal Caligula dari kerajaan Romawi di Italia teknik penyelaman yang masih sederhana. Mereka melakukan aktifitas bawah airnya masih dengan segala macam keterbatasan yang ada dan dengan metode yang belum dapat dikatakan ilmiah, hanya sebatas untuk memenuhi rasa ingin tahunya mereka akan harta karun yang terdapat di kapal karam. Hal tersebut mengakibatkan rekaman data sejarah yang terdeposit pada situs kapal karam tidak terungkap bahkan sebagian besar diantaranya rusak karena ulah para pemburu harta karun tersebut. Kemunculan arkeologi sebagai suatu ilmu, turut berperan dalam memberikan nilai yang positif akan tinggalan kapal karam, dengan pendekatan arkeologi aktifitas pencarian harta karun bawah air menjadi dikenal dengan sebutan arkeologi bawah air atau Underwater Archaeology.

Baru pada tahun 1978 peninggalan arkeologi bawah air di Indonesia mulai diperhatikan, namun hanya beberapa arkeolog saja yang mengusasi penyelaman bawah air plus menggelar penelitian, di banding kondisi di negara tetangga, Thailand, Malaysia dan Philipina jauh lebih baik. Pada 1979, satu tenaga peneliti Indonesia, yakni Nurhadi, berkesempatan mengikuti latihan ABA yang dikaitkan dengan Arkeologi Maritim (AM) di Thailand.

Arkeologi bawah air di Indonesia kemudian mulai dipelajari lebih intensif mulai pada tahun 1980 seiring dengan dikirimnya beberapa arkeolog Indonesia yang tergabung dalam SEAMEO Project in Archaeology and Fine Art (SPAFA) ke Thailand sebanyak 22 orang yang terdiri dari : 8 orang Penyelam, 13 Konservator, dan seorang fotografer. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pun mulai menguji coba kegiatan arkeologi bawah air pada 1981, bekerja sama dengan pasukan katak dari Armada RI Wilayah Timur.
Selain mempelajari dan menangani segala tinggalan di bawah air juga mengkaji arkeologi maritim  yaitu  segala sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran, namun datanya terdapat di daratan. Dengan demikian, situs di daerah pantai atau sungai dan kapal yang tertimbun tanah di daratan menjadi cakupan arkeologi maritim. Di Indonesia arkeologi maritim yang mula-mula dikenal lewat penelitian perahu kuno dan arkeologi bawah air. Salah seorang pelopornya adalah Pierre-Yves Manguin, seorang pakar sejarah maritim dari Prancis. Manguin meneliti perahu kuno di Indonesia sejak 1977 (Susantio, 2006).

Berdasarkan sumber Litban Oceanologi (2006) tercatat sekitar kurang lebih 463 titik situs bawah air, Arsip Organisasi Arkeologi di Belanda sekitar 245 kapal VOC, sedangkan Tony Wells, Shipwrecks & Sunken Tresure sekitar 186 kapal VOC. Adapun sebaran titik tersebut terdapat di perairan Selat Malaka, Sumatra Selatan yang tersebar di selat Bangka, Perairan Riau, Selat Gaspar, Perairan Blitung, Perairan Enggano, Kepulauan Seribu- Selat Sunda, Pelabuhan Ratu, Perairan Cilacap- Jawa Tengah, Laut Jawa, Perairan Karimun Jawa-Pantai Jepara, Selat Madura-Pulau Kangean, Selat Karimata, Nusa Tenggara Barat-Timur, Perairan Arafura, Perairan Irian Jaya, Perairan Morotai-Teluk Kao, Perairan Almahera Tidore- Bacan, Perairan Ambon -- Buru, Perairan Teluk Tomini dan Perairan Selat Makassar.

Dalam uraian tersebut, terlihat bahwa sejak pertama kali dilakukan penelitian arkeologi bawah air, ruang lingkup arkeologi bawah air di Indonesia masih lebih difokuskan pada kapal karam di dasar laut, bahkan secara rinci disebutkan oleh  Direktur Riset dan Sumber Daya Alam titik-titik dari keberadaan kapal karam di perairan Indonesia yang sampai detik ini belum semuanya tuntas diekploirasi. Hanya saja yang perlu kita ingat bahwasannya ruang lingkup objek kajian arkeologi bawah air bukan hanya kapal karam beserta muatannya saja tetapi juga sisa aktifitas manusia lainnya yang berada di bawah permukaan air, sehingga bisa saja objek  tersebut tidak menggambarkan aktifitas ke maritiman, salah satu contohnya adalah reruntuhan bangunan kuno di dasar laut merah yang disinyalir sebagai bekas istananya Cleopatra. Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan arkeologi bawah air pada dasarnya sama dengan tujuan arkeologi secara umum, yang membedakannya adalah objek arkeologi bawah air berada di bawah permukaan air, sehingga secara teknis metode ataupun penanganannya tentu harus disesuikan dengan kondisi yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun