Mohon tunggu...
Yadi Mulyadi
Yadi Mulyadi Mohon Tunggu... Dosen - Arkeolog

Arkeolog dari Bandung tinggal di Makassar dan mengajar di Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cagar Budaya untuk Masyarakat "Refleksi 104 Tahun Hari Purbakala Indonesia"

12 Juni 2017   14:57 Diperbarui: 12 Juni 2017   15:04 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Permasalahan kebudayaan di Indonesia yang disorot oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam Perpres No. 39 Tahun 2013 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2014, adalah kualitas pengelolaan warisan budaya yang masih rendah, yang ditunjukan dengan belum optimalnya pengelolaan cagar budaya dan terbatasnya sarana prasarana kebudayaan. Selain itu, permasalahan lainnya yaitu keterbatasan sumberdaya yang bergerak di bidang kebudayaan. Hal ini berarti pemerintah pada dasarnya memahami bahwa terdapat permasalahan dalam pengelolaan cagar budaya yang harus segera diselesaikan, namun ironisnya sampai saat ini permasalahan tersebut belum juga terselesaikan.

Merunut pada fakta sejarah, upaya yang terkait dengan pengelolaan warisan budaya ini telah berlangsung sejak lama, ditandai dengan berdirinya lembaga Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie atau Jawatan Purbakala pada tanggal 14 Juni 1913 yang sekarang diperingati sebagai Hari Purbakala.  Peringatan Hari Purbakala yang ke 104 tahun ini, dapat dijadikan momentum untuk peningkatkan kualitas pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya sebagai sarana rekreasi, edukasi dan pengembangan kebudayaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Hal inilah yang kini menjadi tantangan besar bagi para pengelola atau pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan cagar budaya. Bagaimana membuat suatu bentuk pengelolaan cagar budaya yang bukan hanya berdampak pada lestarinya cagar budaya tetapi juga memberikan manfaat berupa kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu, setiap rancangan pengelolaan cagar budaya diharapkan memberikan ruang sekaligus peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif. Diperlukan sinergitas antara pemerintah, akademisi, masyarakat dan juga sektor swasta dalam mewujudkan hal tersebut.

Peran pemerintah sebagai pemangku kepentingan harus dapat bertindak sebagai regulator dan fasilitator untuk dapat mewujudkan hal tersebut. Permasalahan kebudayan yang terkait dengan belum optimalnya pengelolaan cagar budaya menjadi salah satu prioritas yang harus dituntaskan segera. Salah satu hal yang menjadi penyebab adalah keterbatasan sumberdaya dibidang kebudayaan, misalnya untuk memenuhi tenaga arkeologi di tim pendaftaran cagar budaya maupun tim ahli cagar budaya baik di level provinsi maupun kabupaten/kota masih belum bisa dipenuhi. Padahal keberadaan tim pendaftaran maupun tim ahli cagar budaya adalah amanah dari undang-undang.

Jika dibandingkan jumlah kebutuhan tenaga arkeologi dengan jumlah lulusan arkeologi dari perguruan tinggi di Indonesia masih tidak sebanding. Sampai saat ini, baru terdapat enam universitas yang menyelenggarakan program sarjana arkeologi, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, Universitas Udayana, Universitas Haluoleo dan Universitas Jambi. Program sarjana arkeologi di empat universitas pertama telah berlangsung cukup lama, namun di Universitas Haluoleo baru dilakukan dari tahun 2012 sedangkan di Universitas Jambi tahun 2014 jadi belum ada lulusan yang dihasilkan. Dalam setiap periode wisuda, lulusan arkeologi dari masing-masing universitas hanya berkisar 3-10 wisudawan saja, jadi belum dapat memenuhi kebutuhan tenaga arkeologi di seluruh wilayah Indonesia.

Hal ini mengakibatkan masih banyaknya pemerintah provinsi maupun kabupaten kota yang belum membentuk tim pendaftaran dan tim ahli cagar budaya. Padahal tugas dari tim pendaftaran dan tim ahli cagar budaya tersebut sangat penting dalam proses penetapan warisan budaya sebagai cagar budaya. Jika tidak segera ditetapkan, maka banyak warisan budaya bersifat kebendaan yang memiliki nilai penting terancam musnah. Kondisi ini diperparah pula dengan belum disyahkannya rancangan peraturan pemerintah mengenai cagar budaya yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Selain itu kasus-kasus yang terkait dengan pengrusakan cagar budaya juga kerap terjadi. Ironisnya dari semua kasus pengrusakan cagar budaya, tidak semuanya diproses melalui jalur hukum sebagaimana peraturan perundangan yang berlaku. Sampai saat ini, tercatat baru satu pengrusakan cagar budaya yang diproses sampai ke ranah hukum atau pengadilan, yaitu kasus pengrusakan bangunan cagar budaya SMA 17 Yogyakarta, dimana kedua pelaku pengrusakan dijerat pasal 105 jo pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan diputuskan bersalah oleh Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 2015. Penegakan hukum dibidang kebudayaan diharapkan dapat memberikan efek jera bagi masyarakat agar mereka tidak melakukan pengrusakan terhadap cagar budaya. dan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian cagar budaya.

Fenomena lain yang juga memperlihatkan permasalahan dalam pelestarian cagar budaya yaitu tingginya tingkat perubahan bangunan cagar budaya. Banyak cagar budaya yang telah mengalami perubahan baik bentuk, bahan, struktur dan tata letak juga fungsi bangunan yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian dalam perubahannya, sehingga mengakibatkan cagar budaya tidak lagi sesuai dengan bentuk aslinya. Selain perubahan bentuk, terdapat pula cagar budaya yang telah mengalami perubahan fungsi yang mengakibatkan terjadinya perubahan tata ruang dan struktur pada cagar budaya tersebut.

Fenomena lain yang juga menjadi permasalahan dalam upaya pelestarian cagar budaya yaitu adanya pembiaran cagar budaya menjadi hancur dan musnah/hilang. Hal ini terlihat terutama pada bangunan-bangunan cagar budaya dari periode kolonial yang sengaja dibiarkan kosong, tidak dipelihara dan pada akhirnya dibiarkan rusak. Masyarakat yang memiliki cagar budaya kebanyakan tidak mampu membiayai/tidak memiliki dana untuk melestarikan, sedangkan dana APBD yang dialokasikan untuk kepentingan pelestarian cagar budaya juga sangat minim.

Permasalahan terkait pengelolaan cagar budaya ini tentunya bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja dalam penanganannya, tetapi juga masyarakat sebagai pemilik syah warisan budaya. Untuk mencapai itu, pelestarian cagar budaya harus bersifat dinamis dan memberi peluang pada perubahan secara terkendali. Pengelolaan cagar budaya harus berwawasan pelestarian dan berbasis penelitian yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengelola cagar budaya ditujukan untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang terkandung dengan berupaya mempertahankan aspek bendawi dari agar budaya. Kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama dari setiap upaya pengelolaan cagar budaya, manfaat ekonomi yang dihasilkan dari pemanfaatan cagar budaya adalah dampak dari keberhasilan suatu pengelolaan cagar budaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun