Kader Framuka: Kalau menurut ku sih endak enak lah broo tapi ada kelompok yang beranggapan bahwa menjadi babu itu menyenangkan, loh. Meski tidak bayar--asal menjilat dan kantong tebel.Â
Keduanya tertawa terbahak-bahak, sampai perutnya sakit.Â
Sementara kader FMII wajahnya memerah, hatinya memanas, kepalanya seakan mau meledak mendengar sindiran kedua kader yang duduk didepannya itu.Â
Kader FMII: "Jasikkkk....!!!"Â
Kader UKPX dan Kader Framuka kembali tertawa.Â
Kader UKPX: Etsss.... jangan marah boss, sudah, terimalah kenyataan.Â
Kader Framuka: Iya bro, santai saja, toh senior mu kan sudah enak, kantong saku mereka sudah tebal, jadi sahabat-sahabat mu tidak perlu demo mendemo lagi, kan sudah kenyang. Senior mu dipasang, kan memang fungsinya demikian bro, supaya teman mu tertib berlalu lintas, bukan pemberdayaan kader, sekedar isi perut, ya sadar diri lah bro....Â
Kader FMII hanya terdiam, wajahnya semakin memerah, hatinya berdebar kencang, ingin rasanya ia melayangkan bogem ke wajahnya temannya itu. Tapi, dalam hati kecilnya ia tidak bisa berbohong, bila apa yang disampaikan temannya memang benar. Selama ini, seniornya menjadi jongos rektor, melakukan intervensi kader untuk bungkam, supaya kader tidak demo dan hilang daya kritisnya hanya demi kepentingan seniornya, ia tertunduk lalu pulang.Â
Diperjalan menuju kosnya, pikirannya melayang ke mana-mana, memikirkan organisasinya yang terkoyak tak berdaya, seniornya menjual diri untuk kepentingan pribadi, teman-temannya senang menerima receh untuk sepiring nasi, dalam hatinya ia menangis, menjerit dan ingin rasanya angkat kaki, sebagai mana sikap yang dilakukan Ahmad Wahib dalam bukunya.