Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bila Papua Merdeka, Jokowi Bisa Lengser?

30 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 30 Agustus 2019   06:20 4500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kerusuhan Jayapura dr Tribune.com

Sebenarnya sejak Pilpres 2019 berakhir saya sudah berjanji dalam hati untuk tidak menulis artikel politik lagi. Kepedulian saya terhadap negeri ini sejak tahun 2011 yang ingin andil membangun negeri ini dengan cara selalu mengkritisi kebijakan pemerintah lewat tulisan-tulisan akhirnya benar-benar surut dengan selesainya  Pilpres 2019.

Alasannya karena dalam 4 tahun terakhir saya melihat Sistim Demokrasi negeri ini mulai memburuk dan semakin hari semakin memburuk. Dan "Bom" nya adalah Kemenangan Jokowi di Pilpres 2019 (yang menurut saya kontroversial) yang akhirnya membuat saya semakin menyimpulkan bahwa untuk ke depannya ( 5 tahun ke depan), sistim demokrasi negeri ini akan menjadi lebih memburuk lagi.

Sudah tidak ada gunanya lagi rakyat bersuara untuk mengkritik pemerintah. Pemerintahan Jokowi sudah terbukti (dalam pengamatan saya selama 4 tahun terakhir) adalah Pemerintahan yang anti kritik. 

Siapapun yang mengkritik pemerintah selalu dipukul rata sebagai Pihak Oposisi. Selalu dipukul rata sebagai pihak-pihak yang ingin mengganggu stabilitas politik nasional.  

Berbeda dengan zaman SBY dimana saya merasa bebas bersuara dan berpendapat, di zaman Jokowi setiap saya mengkritik pemerintah selalu saja saya dicap Kampret. Saya dimusuhi banyak teman hanya karena mengkritik Jokowi.

Dan saya juga melihat banyak aktivis-aktivis yang dipolisikan hanya gara-gara mengkritik Pemerintah. Pun ada juga yang sampai menjadi kasus pidana yang terasa kental aroma politiknya. 

Akun-akun medsos beberapa teman yang merupakan pendukung Prabowo  saat Pilpres 2019 juga saya lihat banyak yang dibekukan oleh Facebook.  Dapat diduga mungkin tidak bisa dilepaskan dari peran Menkominfo.

Anehnya juga beberapa hari lalu salah satu email saya tiba-tiba tidak bisa diakses setelah sehari sebelumnya saya ikut menanda-tangani Petisi soal ajakan untuk mengawasi Pansel KPK yang menseleksi Capim KPK. Saya tidak tahu persis penyebabnya tapi yang seperti ini baru sekali terjadi selama 1 dekade ini.

Dari berita media resmi 2 hari terakhir, saya baca Jubir KPK, Koordinator ICW dan anggota LBH dipolisikan karena ikut mengawal seleksi Capim KPK. Di sisi lain Pansel KPK juga enggan menerima undangan KPK untuk melihat track record Capim KPK yang sudah diseleksi.

Bagaimanapun juga nalar saya mengatakan bahwa sepertinya ada peran Elit yang berusaha "mengatur" Pansel KPK didalam menseleksi Capim KPK mendatang. Semua inilah yang saya sebut diatas sebagai  sistim demokrasi yang semakin hari semakin memburuk.

RENCANA PEMINDAHAN IBUKOTA YANG TIDAK MASUK AKAL DAN AKAN MENDEGRADASI JOKOWI

Sudah 2 artikel saya buat di bulan Mei lalu yang mengkritisi rencanan pemindahan Ibukota oleh Jokowi.  Alasan utamanya adalah menurut saya Tidak ada Skala Prioritas yang mendesak untuk itu. Tidak ada tingkat Urgensi yang tinggi untuk hal tersebut.

Artikel saya tanggal 8 Mei 2019 mempertanyakan mengapa begitu Instantnya rencana pemindahan ibukota. Soal ini 2 hari lalu sempat dibahas juga secara detail oleh mantan menteri BUMN Dahlan Iskan. 

Begitu juga pada artikel saya tanggal 1 Mei 2019 yang mempertanyakan mengapa Jokowi tidak focus menyelesaikan masalah-masalah Pemilu 2019 terkait jatuhnya 600 korban petugas pemilu terlebih dahulu malah membuat isu baru yaitu rencana pemindahan ibukota.

Harapan saya waktu itu adalah Jokowi menyelesaikan PR-PR yang belum selesai di pemerintahan periode 2014-2019 terlebih dahulu barulah berbicara soal Pemindahan Ibukota.

Lihatlah prestasi Jokowi 2014-2019. Lihatlah Mega Proyek Listrik 35 ribu Megawatt yang realisasinya hanya dibawah 20%.  Lihatlah Pertumbuhan Ekonomi stagnant di 5% selama 4 tahun pemerintahan Jokowi dan lihatlah target-target program lain yang tidak selesai.

Betapa banyak masalah penting yang harus diselesaikan Jokowi tetapi malah Jokowi sepertinya kurang kerjaan dengan sibuk urusan Pemindahan Ibukota. (Maaf ini hanya pendapat pribadi seorang rakyat).

Artikel Dahlan Iskan yang saya baca sangat detail mengulas "keheranan" seorang Dahlan Iskan tentang bagaimana mudahnya pemerintah membuat rencana pemindahan ibukota disertai jadwal kapan pindahnya. 

Dahlan menyebutnya rencana pemindahan Ibukota oleh Jokowi terkesan seperti program sebuah Grup Perusahan Property Raksasa. Detail tentang lahannya, detail tentang konstruksinya dan detail tentang jadwalnya.  

Yang diulas Dahlan Iskan senada dengan apa yang saya tuliskan di Artikel tanggal 8 Mei lalu. Kesannya seolah-olah DPR dan rakyat tidak dilibatkan dalam Rencana Pemindahan Ibukota ini. 

Status-status akun resmi medsos Jokowi kemarin-kemarin memastikan bahwa rencana ini akan pasti berjalan tanpa kendala dan selesai sesuai jadwal. 

Tidak disebut oleh akun Jokowi tentang proses persetujuan DPR ataupun proses kajian lainnya. Seolah-olah DPR pasti setuju dengan rencana Jokowi dan akan dilaksanakan sesuai rencana Bappenas. (agak mirip dengan zaman orde baru dimana pasti DPR akan setuju apapun rencana dari Soeharto).

Sebenarnya pada dasarnya saya yakin semua orang setuju bahwa Ibukota harus dipindahkan karena lahan Jakarta semakin sempit dan permasalahan Jakarta sangat kompleks.  Sejak zaman Soekarno hingga Soeharto memang sudah diwacanakan tentang Pemindahan Ibukota. Tapi seharusnya Prosesnya tidak seinstan seperti yang sekarang dipublikasikan oleh pemerintah. Harus benar-benar direncanakan dengan matang dan bertahun-tahun perencanaanya.

Apalagi membaca-baca ulasan Bappenas yang menyebut pihak-pihak swasta akan banyak dilibatkan dalam total keseluruhan rencana pemindahan Ibukota yang akhirnya membuat banyak orang berpikir jangan-jangan ada pihak-pihak swasta yang mendorong pemerintahan Jokowi untuk melaksanakan hal ini segera.

Yang namanya Mega Proyek, yang namanya pembukaan/ pembebasan lahan jutaan hektar tentu kita bicara tentang uang besar. Uang besar ini mengundang pihak manapun untuk ikut bermain. Uang Besar adalah Masalah Besar. Itulah intinya. 

Dan urusan masalah besar itu tidak selayaknya direncanakan secara instant apalagi perencanaan secara sembunyi-sembunyi tentang pihak-pihak mana nantinya yang akan dilibatkan.

Fokus saya pada artikel ini bukan rencana Pemindahan Ibukota. Saya hanya ingin sedikit memberi gambaran bahwa rencana pemindahan ibukota mungkin salah satu contoh dimana kebijakan Jokowi sering kontroversial, sering terasa sebagai proyek ambisi/ proyek mercusuar dan tidak termasuk skala prioritas.

Selama 4 tahun pemerintahannya alih-alih Jokowi berusaha memprioritaskan peningkatan kehidupan ekonomi rakyat kecil akan tetapi malah membangun infrastruktur besar-besaran yang menguras APBN, menambah Hutang LN, mengganggu dana BPJS dan lainnya.

Yang paling memberatkan rakyat kecil adalah ditariknya subsidi BBM dan Listrik sementara uangnya dipakai untuk membangun infrastruktur sebanyak mungkin. Rakyat kecil tidak bisa menikmati tol-tol baru yang sudah dibangun melainkan hanya menerima dampak ekonominya.

BPJS pun kacau balau. Berita terakhir disebut untuk menyehatkan BPJS kabarnya Pemerintah malah akan menaikkan iuran BPJS sebanyak 2 kali lipat. Akan semakin berat lagi untuk rakyat kecil.

Prediksi saya untuk Mega proyek pemindahan ibukota ini tidak akan berjalan lancar seperti halnya Mega Proyek Listrik 35 ribu megawatt. Saya yakin banyaknya masalah di pemerintahan akan membuat focus pemerintah tersita sehingga proyek ini akan terhambat pelaksanaannya.  Akan mundur dari jadwalnya atau malah terbengkalai nantinya.

Sebaliknya kalau Jokowi focus di Proyek Pemindahan Ibukota bisa jadi masalah-masalah penting negara lainnya malah terbengkalai. Ujung-ujungnya sama dimana bila ada salah satu yang terbengkalai maka pemerintahan Jokowi akan tergradasi kredibilitasnya.

Meletusnya kerusuhan beberapa hari terakhir di sejumlah kota di Papua sudah membuktikan bahwa betapa banyak masalah penting mendasar yang harus diselesaikan pemerintah, betapa banyak urusan yang jauh lebih tinggi urgensinya saat ini. Kenapa harus urusan pemindahan ibukota yang diprioritaskan?

DIBUNGKAMNYA SUARA OPOSISI AKAN MEMBUAT PEMERINTAHAN JOKOWI LEMAH DAN TIDAK EFEKTIF

Ibarat hukum alam yang mengharuskan adanya  Keseimbangan Yin dan Yang, ibarat hukum alam dimana sebuah Energi bisa menjadi optimal bila ada kutub negative dan positif, bagaimana mungkin Pemerintahan Jokowi bisa efektif dan maksimal bila tidak ada Pihak Pengontrolnya? Bagaimana mungkin sebuah mobil bisa berjalan dengan baik kalau tidak ada Rem nya?

Negara ini adalah negara besar. Untuk membangun sebuah negara besar semua elemen bangsa harus dilibatkan. Semua orang pintar, semua para ahli, semua pihak berkompeten harus dilibatkan dalam pembangunan bangsa tanpa melihat darimana latar belakangnya dan tanpa melihat siapa dalam pandangan politiknya.

Mengerikan jadinya (menurut saya) kalau yang membangun bangsa ini saat ini hanyalah rakyat 01 ataupun semua yang berpihak pada 01 sementara rakyat 02 atau pihak 02 dianggap sebagai pecundang yang hanya bisa mengganggu pemerintahan.

Jalannya pemerintahan akan ngawur bila tidak dikontrol oleh oposisi. Semua kebijakkan yang dikeluarkan tidak akan maksimal bila hanya para ahli dan para pakar harus berasal dari rakyat 01 saja. 

Dan hal itulah yang saya takutkan terjadi di zaman Jokowi ini dimana setiap kritikan yang datang dari siapapun selalu dianggap sebagai ancaman delegitimasi terhadap pihak penguasa.

Bagaimana mungkin pihak diluar 01 bersedia menyumbangkan pikiran dan aksinya kalau selalu dimusuhi  dan selalu dicurigai oleh pihak penguasa?

Dalam politik tidak ada kawan yang abadi.  Koalisi besar yang ada di pemerintahan saat ini tidak tertutup kemungkinannya akan bubar sewaktu-waktu bila terjadi kesalahan fatal dalam sebuah kebijakan pemerintah. "Teman-teman" Jokowi saat ini bisa saja suatu saat berbalik menghantam dirinya bila ada suatu masalah besar yang meledak.  

Saya ingat zaman Soeharto dimana para pendukungnya balik badan dan menyebut mereka sebagai reformis pada saat Soeharto dilengserkan oleh mahasiswa.

Salah satu masalah Krusial bangsa saat ini adalah Masalah Papua.  Tidak cukup banyak kepala untuk mengatasinya bila hanya berasal dari rakyat 01 saja. Semua elemen bangsa harus dilibatkan untuk masalah Papua ini.

Bila terjadi salah penangangan sehingga sampai terjadi Papua lepas dari NKRI, maka semua orang akan menyalahkan Jokowi termasuk "teman-temannya" yang ada saat ini. 

Bukankah seperti ini yang rugi semua orang.  Bila Papua sampai lepas itu yang rugi bukan hanya rakyat 01 melainkan rakyat 02 juga karena kedua pihak adalah rakyat Indonesia.

AMAT SANGAT TIDAK MUDAH MENGATASI MASALAH PAPUA DALAM KERANGKA NKRI

Hanya mereka-mereka yang peduli lahir batin pada Papua dan mengenal Papua dengan baik yang dapat menyelesaikan masalah Papua. Kita butuh semua orang yang mengenal betul Papua untuk mengatasi masalah Papua. 

Disebut mengenal Papua pastinya harus mengenal sejarahnya, mengenal social budayanya dan akar masalah keinginan Referendum hingga bagaimana caranya menempatkan Papua sebagai bagian terpenting yang terintegrasi dalam NKRI.

Kebetulan remaja saya dibesarkan di Papua. Belasan tahun tinggal di Jayapura sehingga saya cukup mengenal orang Papua mulai dari masyarakat pantai hingga masyarakat pedalaman, mengenal social budayanya dan sedikit tahu tentang sejarah Papua yang ada.

Sejak remaja belasan tahun saya sudah paham dan seringkali  mendengar Akar Masalah pencetus Aspirasi Merdeka dari kawan-kawan yang asli dari Papua.  Kalimat-kalimat seperti : "Rambut kami kriting, rambut mereka lurus", "kulit kami hitam, kulit mereka coklat",   "Belanda tidak menjajah kami, tapi menjajah mereka". Dan seterusnya dan seterusnya.

Pada dasarnya sejak remaja saya sudah menyimpulkan banyak masyarakat Papua yang merasa secara fisik mereka jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia di luar Papua. Dan dalam batin mereka sudah ada pertanyaan besar, mengapa kami harus menjadi bagian dari Republik Indonesia? Apa alasannya?

Berbeda dengan orang Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan lainnya yang sama-sama merasakan penderitaan Rodi (kerja paksa) dan dikeruk sumber alamnya oleh Belanda (senasib dan sependeritaan), di sisi lain orang Papua tidak merasakan Rodi dan tidak dikeruk kekayaan alamnya oleh Belanda. Malah orang-orang Belanda yang membawa kaum misionaris untuk mengenalkan Kristen kepada mereka.

Dari situ saja sudah terlihat adanya perbedaan ikatan emosional terkait kerangka NKRI. Apalagi secara fisik mereka merasa berbeda terutama rambut mereka. 

Hal inilah yang membuat masyarakat Papua sangat peka terhadap isu rasialis. Dan Kerusuhan terakhir kemarin di beberapa kota di Papua terbukti dipicu oleh masalah isu rasialis.

Orang-orang Papua yang saya kenal umumnya adalah orang-orang yang polos. Mayoritas karakter orang Papua sangat baik, terbuka dan suka membantu siapapun. Rasa solidaritas mereka juga sangat tinggi kepada sesama, apalagi terhadap saudara sedarah.

Malah di wilayah Pedalaman kalau ada saudaranya yang meninggal mereka dengan iklas memotong satu ruas jarinya. 5 saudaranya meninggal 5 pula ruas jarinya dipotong pakai kampak batu untuk menyatakan kedukaannya yang mendalam.

Setinggi itulah rasa persaudaraan mereka dengan demikian bila mereka mendengar saudara mereka menerima perlakuan tidak baik dari orang lain, sekejap mata mereka akan marah besar. 

Inilah mengapa suku-suku pedalaman Papua dulunya sering berperang. Dan inilah sebabnya masyarakat asli Papua mudah diprovokasi bila terkait ada masalah yang menimpa keluarganya.

Sejak SMA dan sesudahnya saya tidak di Jayapura, tapi beberapa tahun kemudian saya kembali ke Jayapura bekerja di proyek pembangunan jalan sekitar 4 tahun. Sempat juga saya  membuka sebuah kantor di kawasan Abepura pada tahun 95.

Tahun 1996 terjadi kerusuhan di Abepura gara-gara Tokoh Besar Papua Thomas Wanggai meninggal secara tidak wajar di penjara Cipinang di Jakarta.  Saya ingat sepanjang jalan dari Abepura ke Jayapura terjadi pembakaran dan pengrusakan. Kantor saya juga dirusak massa. 

Itulah sedikit pengalaman saya dengan orang Papua. Tapi tidak ada rasa marah sedikitpun ketika kantor saya dirusak karena saya paham sekali dengan apa yang mereka rasakan.

Orang-orang Papua bukanlah orang yang suka banyak menuntut. Kalau mereka marah besar dan mungkin menjadi anarkis itu bukanlah sifat mereka. Pasti ada peristiwa pemicu yang menyakiti hati mereka.

Kerusuhan yang terjadi tahun 1996 dan kemarin (29 Agustus 2019) menurut saya tidak ada hubungannya dengan Aspirasi Merdeka. Ada elit politik local yang menunggangi peristiwa itu dengan memprovokasi ke arah Aspirasi Merdeka ataupun tuntutan Referendum. Makanya saya sebut diatas harus orang-orang yang mengenal Papua yang bisa mengatasi masalah Papua.

KERUSUHAN JAYAPURA ADALAH PERINGATAN KERAS BAGI PEMERINTAHAN JOKOWI

Saya baca status akun resmi Jokowi di Facebook yang menjanjikan akan membangun Papua lebih baik lagi. Saya pikir jangan-jangan Jokowi akan melakukan salah langkah lagi membuat Kebijakkan.

Seperti halnya kritikan-kritikan saya sebelumnya tentang kesalahan Jokowi dalam Skala Prioritas Pemerintahannya membangun bangsa dimana  Pertumbuhan Ekonomi sangat rendah dan sengsaranya rakyat kecil akibat subsidi BBM dan Listrik dicabut, di sisi lain Jokowi membangun infrastruktur besar-besaran dan jor-joran.

Banyak orang termasuk saya mengkritisinya bahwa rakyat kecil tidak butuh tol sebanyak itu. Mereka lebih butuh peningkatan taraf kehidupannya. Sayangnya kritikan kami malah dianggap upaya untuk mendegradasi prestasi Jokowi. 

Begitu juga dengan masyarakat Papua. Jokowi sudah membangun Infrastruktur besar-besaran di Papua. Tapi pertanyaannya kemudian, apakah Jokowi sudah membangun besar-besaran kesejahteraan rakyat Papua?  Saya tidak tahu hal itu karena sejak tahun 2000 saya sudah tidak disana.

Setahu saya mayoritas rakyat Papua masih banyak yang sulit penghidupannya. Mereka yang bisa menikmati pembangunan Infrastruktur di Papua hanyalah masyarakat asli papua yang sudah agak mapan kehidupannya.  Tapi bagaimana dengan mereka yang ada di pedalaman dan pesisir pantai yang tidak terjangkau transportasi?

Rakyat Papua yang bisa menikmati langsung infrastruktur yang baru dibangun mungkin hanya belasan persen sementara mungkin mayoritas yang lain masih hidup dibawah standar sejahtera. Bagaimana tidak gampang diprovokasi untuk Merdeka dan memisahkan diri dari NKRI  kalau ketimpangan social yang ada di mayoritas rakyat Papua begitu nyata?

Betul bahwa Papua diberikan Otonomi Khusus tetapi setahu saya  hal itu hanya dinikmati para pejabat daerah yang ada dan keluarga mereka. Otonomi Khusus yang ada maupun sumbangan Freeport sepertinya tidak menyentuh masyarakat lapisan terbawah ataupun tidak merata terbaginya.

Dari sejarahnya Papua itu terisolasi dari dunia luar. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat tertinggal teknologi, tertinggal peradaban dan lain-lainnya.  

Seingat saya  kemampuan masyarakat pedalaman hanya bisa berkebun sekedarnya sementara masyarakat pesisir hanya menangkap ikan sekedarnya. Mengapa pemerintah tidak berusaha meningkatkan kemampuan mereka untuk mengolah sumber daya alam yang ada?

Sungguh Ironi dimana sumber daya alam Papua yang demikian kaya tapi mayoritas rakyatnya hidup tidak sejahtera.

Beri mereka pelatihan mengolah sumber alamnya, beri mereka modal , subsidi dan intensif untuk itu  dan pantau dengan ketat perkembangan kesejahteraan mereka. Jangan gelontorkan dana otsus besar-besaran begitu saja karena belum tentu bisa menyentuh mereka ataupun bermanfaat langsung buat mereka.

Sama seperti rakyat kecil di seluruh Indonesia,  mayoritas rakyat Papua lebih butuh peningkatan SDM nya dibanding pembangunan fisik wilayah. Urgensinya lebih tinggi kebutuhan pembangunan manusianya dibanding membangun infrastruktur.

Belasan tahun mengenal orang Papua saya yakin saudara-saudara saya itu tidak punya obsesi ataupun tuntutan merdeka. Mayoritas mereka Polos dan Familiar. Secara naluri mereka hanya butuh peningkatan kesejahteraan dan Keadilan Sosial Ekonomi.

Akar masalah demografi dan social budaya memang rentan dimana secara fisik mereka merasa fisik mereka dan sejarah mereka berbeda dengan saudara-saudaranya di propinsi lain. Begitu juga dengan karakter mereka yang begitu tinggi rasa persaudaraannya. 

Inilah factor yang membuat mereka mudah diprovokasi apalagi kehidupan mereka juga sulit.  Poin-poin inilah yang harus dipahami pemerintah pusat sehingga bisa hati-hati menangangi masalah Papua.

Benar bahwa memang ada segelintir elit-elit warga Papua yang memiliki obsesi Papua Merdeka. Tapi dengan membangun seutuhnya rakyat Papua sudah pasti akan menutup kesempatan rakyat asli Papua diprovokasi untuk menuntut Referendum.

Kembali lagi di awal alinea. Jokowi harus merangkul semua elemen bangsa untuk membangun negeri ini. Masalah Papua pun demikian. Ajak semua pihak yang paham akar masalahnya meskipun mereka berbeda pandangan politiknya untuk bersama-sama mengatasi masalah mendasar rakyat Papua.

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun