Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Semoga MK Menolak Gugatan Prabowo-Sandi

19 Juni 2019   05:37 Diperbarui: 19 Juni 2019   05:47 1502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari postingan-postingan saya di Facebook  setahun terakhir ,  hampir semua orang menyebut saya sebagai pendukung Prabowo. Meskipun itu tidak benar  tapi saya merasa tidak perlu membantahnya karena setiap orang  memang  cenderung menilai orang lain dari apa yang pernah dihatnya.   

Sejatinya saya bukanlah pendukung Prabowo. Saya dan jutaan orang lainnya yang tidak terkait dengan Gerindra ataupun kelompok politik pro 02  memang  sengaja memilih Prabowo  dengan motivasi  yang sama yaitu kami menginginkan perubahan Kepemimpinan Nasional.

Mengapa harus ada perubahan Kepemimpinan Nasional? Karena menurut kami selama 5 tahun terakhir ini negara dalam keadaan yang jauh lebih buruk dari zaman SBY, Gusdur dan Megawati. 

"Lebih buruk bagaimana? Bukankah di zaman Jokowi pembangunan negeri ini begitu cepat dan melesat?  Mengapa kalian tidak mau melihat hal-hal yang lebih positif dibanding mempermasalahkan kekurangan-kekurangan yang ada? ", begitulah selalu sanggahan yang kami terima bila kami mengatakan saat ini negara ini dalam keadaan yang lebih buruk dari sebelumnya.

Kalau sudah terjadi perdebatan seperti itu di medsos maka saya hanya tersenyum dan mengatakan ya sudahlah, saya yang salah menilainya.  Lantas mereka pun tidak memperpanjang lagi perdebatannya.

Sesungguhnya saya tidak pernah menyalahkan mereka yang membela mati-matian Jokowi.5 tahun yang lalu juga saya sama seperti mereka membela Jokowi.  Yang menjadi perbedaan adalah mereka  cinta pada Jokowi melebihi cinta mereka pada negeri ini.

Seperti halnya orang tua yang amat sayang pada anaknya, atau kekasih yang sangat sayang pada pacarnya, bila sudah terlanjur sayang maka seburuk apa tindak-tanduk anaknya akan dibela mati-matian.  Misal si anak kepergok berkali-kali  mencuri baik mencuri uang orangtuanya sendiri maupun mencuri  barang-barang  tetangganya, tetap saja sang orangtua akan membela anaknya mati-matian.  Mau bagaimana lagi itulah yang sudah terjadi.   

SULITNYA MENYAMPAIKAN FAKTA PADA ORANG YANG SEDANG "JATUH CINTA"

Ketika saya banyak mengkritik Jokowi di Facebook, harapannya tentu kritikan itu dibaca pihak lingkaran Istana dan disampaikan kepada Jokowi agar negeri ini menjadi lebih baik lagi. Selain itu harapan saya juga agar pendukung Jokowi ikut mengetahui  apa-apa sebenarnya yang menjadi kekurangan pemerintahan Jokowi.

Sayangnya yang terjadi malah banyak teman-teman FB yang tidak terima dan memusuhi saya, bahkan diunfriend oleh 1-2 orang.  Tidak masalah karena itulah resiko menyampaikan sebuah fakta.

Ketika saya mengatakan  ekonomi Indonesia memburuk, pertumbuhan Ekonomi selama 4 tahun terakhir Stagnant dan mentok di angka 5%, saya dibilang menjelek-jelekkan Jokowi.  Ketika saya mengkritisi tidak efektifnya beberapa infrastruktur yang dibangun, saya dibilang sok tahu.  Begitu juga  saat saya mengkritik buruknya penegakkan hukum di rejim Jokowi, saya dibilang lebay.

Mereka memarahi saya dan mengatakan saya buta terhadap kemajuan yang ada. Lihat dong Infrastruktur-infrastruktur yang sudah dibangun. Tidak pernah ada Presiden RI yang mampu membangun secepat ini. Apalagi Presidennya orangnya merakyat, bersih dan sederhana. Begitulah kata mereka.

Saya jawab, bukan saya buta, bukan saya tidak tidak tahu bagaimana sosok Jokowi.  Infrastruktur-infrastruktur itu bisa dibangun sebanyak itu dan sehebat itu karena didukung beberapa factor.  Dicabutnya 2 subsidi sekaligus (BBM dan Listrik)  pastilah membuat  APBN sangat gemuk.  Lalu ada banyak dana non APBN seperti BPJS, dana Haji (katanya) dan dana lainnya yang digunakan.  Belum lagi Hutang LN  yang bertambah pesat sejak infrastruktur-infrastruktur itu dibangun.

Jadi dibalik hebatnya Jokowi membangun Infrastruktur, mengapa kita tidak pertanyakan efektifitasnya dan dampaknya?  Apakah memang Infrastruktur itu Skala Prioritas tertinggi untuk negeri ini?

Yang jelas dampak dari penggelontoran dana besar-besaran untuk membangun Infrastruktur adalah turunnya daya beli masyarakat akibat 2 subsidi dicabut.  Ekonomi mikro melemah, pertumbuhan ekonomi stagnant 5 % dalam 4 tahun, BPJS kacau balau, Hutang LN makin menumpuk dan lain-lainnya.  

Di sisi lain lihatlah LRT Palembang yang merugi Rp.10 milyar per bulan, lihatlah Bandara Kertajati yang belum dipakai sama sekali (yang ada hanya biaya pemeliharaan), lihatlah Tol Becakayu dan infratruktur lainnya.  Cukup banyak infrastruktur yang tidak efektif dibangun. Dan semua itu kalau tidak dipakai malah akan membebani APBN selain dari Hutang  LN yang timbul, hingga biaya pemeliharaannya. 

Begitulah poin-poin yang saya katakan kepada pendukung Jokowi beberapa bulan lalu sebelum Pilpres 2019 digelar. Sayangnya gayung tidak bersambut, yang ada malah terjadi salah paham.

MENANTI  PENDUKUNG JOKOWI BERSIKAP REALISTIS

Jauh hari sebelum Pilpres 2019 digelar, sebenarnya di kalangan masyarakat kelas bawah itu tidak ada perbedaan kondisinya. Baik pendukung Jokowi atau bukan semua sama-sama merasakan beratnya beban ekonomi sejak 2 subsidi dicabut sekaligus. Bedanya karena kecintaannya yang luar biasa pada Jokowi maka mereka bisa  ikhlas menerimanya dan membela Jokowi bila ada yang mengkritisi soal itu.

Kondisi mulai berbeda ketika terjadi carut-marut di BPJS. Para pengguna BPJS mulai was-was karena banyak RS yang menolak pasien BPJS. Sebagian kecil pendukung Jokowi mulai realistis dan mencoba ikut mengkritik Jokowi. Saya geli melihat pendukung fanatik dokter Tompi yang mengkritik Jokowi soal BPJS.  Tapi memang itulah yang seharusnya dilakukan masyarakat.

Perbedaan mulai tampak serius ketika Tiket Pesawat Naik menggila. Lebih dari separuh pendukung Jokowi yang menggunakan transportasi jenis ini meluapkan kekesalannya di media social.  Mereka berteriak memprotes Menteri Perhubungan sementara di sisi lain mereka juga mulai sadar tentang keberadaan Duopoli maskapai penerbangan.

Menggilanya harga Tiket Pesawat 7 bulan terakhir jelas memperlihatkan suatu fakta bahwa Menteri Perhubungan dan Jokowi sendiri sebagai Presiden  memang tidak mampu  mengendalikan harga Tiket Pesawat. Ada Duopoli yang begitu kuat posisinya.

Bila saja pendukung Jokowi realistis tentu mereka mampu memahami apa yang terjadi dan bisa melihat dampak-dampak yang terjadi akibat Tiket Pesawat Mahal.  Sudah seperti lingkaran setan.

Masyarakat pengguna transportasi  jelas sangat dirugikan. Bandara-Bandara merugi karena penumpang turun drastis, pengusaha travel banyak yang  gulung tikar, Kunjungan Wisata domestic turun drastic dan lain-lainnya.  Ujung-ujungnya juga  Maskapainya sendiri yang akan turun omset penjualannya.

Mudik Lebaran 2019 kemarin juga memperlihatkan banyak fakta.  Semula pada arus Mudik 2019 banyak yang memuji-muji keberhasilan Tol Trans Jawa. Sangat lancar jaya arus mudik sebelum hari H. Para pendukung Jokowi bersorak sorai karena hal itu. Tapi pada hari H hingga H +8 kondisi terjadi sebaliknya. Arus balik macet parah di semua lini berhari-hari.  Jalan Tol Trans Jawa meskipun tarifnya setinggi langit terbukti tidak mampu menampung arus balik. Pupus sudah klaim keberhasilan Tol Trans Jawa.

Fakta lainnya ternyata Jumlah Pemudik tahun 2019 turun sekitar 1,9 Juta dari tahun sebelumnya.  Apa yang penyebabnya tentu finansial masyarakat luas yang setahun terakhir mengalami deficit. Inilah fakta sebenarnya.

Jadi sebenarnya selama ini cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa Jokowi tidak berdaya menentukan kebijakannya sendiri selaku Presiden.  Contoh lain, pembentukan BPIP (Badan Ideologi Pancasila)  dengan Gaji Dosen mencapai ratusan juta rupiah per bulan itu kebijakan yang tidak efektif dan menyakiti rakyat.  Saya yakin itu bukanlah kebijakan Jokowi melainkan desakan pihak tertentu.

Kebijakan lain yang  keliru salah satunya Soal Impor Pangan.  Menteri Pertanian  dan Ka Bulog tidak berdaya  mengatur  stok beras karena kebijakan impor pangan dikendalikan oleh pihak tertentu.  Masa sampai terjadi Beras  baru di Impor terus di ekspor lagi karena kelebihan stok?

Belum lagi bicara tentang Penegakkan Hukum yang carut marut. Lihatlah Setya Novanto yang berkali-kali jalan-jalan diluar selnya. Bukan hanya setnov tapi terpidana yang lain juga begitu.  Bisakah Jokowi memberhentikan Menkumham karena hal tersebut?

Lihatlah Kasus Penganiayaan Novel Baswedan yang tidak pernah selesai. Lihatlah kasus Ahmad Dani dan kasus-kasus lainnya yang kental aroma politiknya.  Apakah semua itu bisa dikendalikan Jokowi? Tentu tidak.  Polri dan Institusi Kejaksaan sepertinya tidak tunduk pada Presiden. Entahlah mereka tunduk sama siapa sehingga kasus-kasus kontroversial banyak yang mencuat.

Pertanyaan besar di benak saya kemudian adalah : Kira-kira kapan ya para pendukung Jokowi itu bisa realistis melihat kelemahan-kelemahan Jokowi yang ada?

Tadinya di Pilpres 2019 ini saya berharap Prabowo yang akan menang karena sudah apatis dengan rejim yang ada saat ini.  Benar bahwa tidak ada jaminan Prabowo akan lebih baik tapi yang pasti bila rejim berganti  tetap ada peluang untuk bisa menjadi lebih baik.  Sebaliknya bila rejim tidak berganti saya  yakin  kondisi akan semakin memburuk.  Sejak tahun 2014 hingga 2019 sabar menunggu tapi  tanda-tanda  Jokowi akan mampu mengendalikan negeri ini semakin jauh terlihat . Jokowi tetap dikendalikan pihak-pihak tertentu. Inilah  alasan saya tidak mendukung Jokowi.

Jika memang fakta-fakta yang ada selama ini tidak mampu  membuka mata para pendukung Jokowi untuk bisa melihat keadaan yang sebenarnya, apakah bila MK menolak gugatan Prabowo-Sandi bisa merubah kondisi itu?

Mungkin saja ya.  Bila Jokowi menjadi Presiden lagi pastilah semakin banyak  kebijakan-kebijakan tidak pro rakyat akan dibuat.  Dan mungkin bila keadaan lebih memburuk lagi, barulah  pendukung Jokowi terbuka matanya dan bisa berrubah.  Mereka bisa bersatu kembali dengan masyarakat non partisan dan bersedia mengkritki pemerintah.  Itulah sebabnya saat ini ada keinginan saya agar MK Menolak Gugatan Prabowo-Sandi.

MENGKRITIK  ITU TIDAK IDENTIK DENGAN MEMBENCI

Ketika saya berkali-kali mengkritik Jokowi, banyak sekali orang  yang menyebut saya sebagai Pembenci Jokowi.  Tapi ketika tahun 2012-2014  saya begitu sering mengkritik keras SBY tak seorangpun menyebut saya sebagai Pembenci SBY.

Tahun 2017 lalu  pada saat Pilgub DKI  digelar saya melihat begitu banyak pendukung Jokowi yang sangat membenci SBY, benci AHY, dan benci Demokrat. Begitu juga memasuki kontestasi Pilpres 2019 kebencian pendukung Jokowi kepada SBY dan Demokrat seakan menjadi-jadi dan tidak pernah surut. 

Akan tetapi begitu ibu Ani Yudhoyono berpulang di Singapura, seketika itu juga semua pendukung Jokowi berbalik simpati dan ikut berbela sungkawa.  Pendukung Jokowi memuji-muji ibu Ani dan menyampaikan kesedihannya yang mendalam.

Ternyata mayoritas  pendukung Jokowi masih menyayangi SBY yang telah memimpin bangsa ini selama 10 tahun.  Jadi kebencian pendukung Jokowi kepada SBY  selama ini adalah Kebencian Semu.  Dengan demikian seharusnya mereka sadar bahwa yang mengkritik Jokowi belum tentu adalah Hater.

Okaylah sampai disini  kita anggap saja MK sudah pasti menolak Gugatan Prabowo-Sandi dan Jokowi sudah jadi Presiden lagi. Sudah tidak ada yang bisa dirubah lagi karena Putusan MK mengikat dan tidak bisa dibanding.

Kalau sudah begitu marilah kita bersama-sama mengkritik Jokowi demi masa depan negeri ini.

Lihatlah fakta yang ada bahwa per April 2019 kemarin Defisit Neraca Perdagangan kita adalah yang terburuk selama republic ini berdiri.  Lihatlah Hutang LN yang setiap bulan bertambah secara Signifikan. Lihatlah penegakkan hukum yang  semakin kacau balau. Dan lain-lainnya.

Mahalnya Tiket Pesawat adalah masalah kita semua. Carut marutnya BPJS adalah masalah kita semua. 

Tidak efektifnya Infrastruktur  masalah kita.  Hutang LN yang ada juga tanggungan kita bersama. Mengapa kita tidak bersatu untuk mencari jalan keluarnya?  Mengapa kita tidak bersatu untuk menekan pemerintah agar bisa menangani semua ini?

Lihatlah sekarang  Pansel KPK yang aneh saat ini. Kalau cinta KPK dan berharap KPK berikutnya lebih baik seharusnya  kita awasi bersama Pansel KPK yang ada.  

ICW sudah memprotesnya, begitu juga dengan pegiat-pegiat anti korupsi yang memprotes personil pansel. Mengapa kita masyarakat tidak terketuk hatinya mengawasi Pansel KPK yang ada?

Pansel ini juga yang tahun 2017 memilih Komisioner KPU dan Bawaslu dimana  Ketua KPU yang ada sebenarnya nilainya yang paling rendah dalam proses seleksi tapi ndilalah dia yang  menjadi Ketua KPU.

Lucunya Pansel KPK yang sekarang malah meminta BIN dan BNPT untuk membantu menseleksi Capim KPK. 

Mudah ditebak bahwa nantinya KPK akan berisi Komisioner yang berasal dari Polri. Kan lucu jadinya kalau KPK dibentuk untuk melakukan hal-hal yang selama ini tidak efektif dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan tetapi akhirnya menjadi "bagian"  dari Polri juga.

Akhirnya saya harus menutup artikel ini dengan pesan bahwa lupakanlah tentang siapa yang menjadi Presiden RI. Mari kita bersama-sama menjadi masyarakat yang kritis  yang bersama-sama membangun bangsa.  Jangan takut mengkritik karena kritik itu lebih membangun daripada berdiam diri.

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun