Mereka memarahi saya dan mengatakan saya buta terhadap kemajuan yang ada. Lihat dong Infrastruktur-infrastruktur yang sudah dibangun. Tidak pernah ada Presiden RI yang mampu membangun secepat ini. Apalagi Presidennya orangnya merakyat, bersih dan sederhana. Begitulah kata mereka.
Saya jawab, bukan saya buta, bukan saya tidak tidak tahu bagaimana sosok Jokowi.  Infrastruktur-infrastruktur itu bisa dibangun sebanyak itu dan sehebat itu karena didukung beberapa factor.  Dicabutnya 2 subsidi sekaligus (BBM dan Listrik)  pastilah membuat  APBN sangat gemuk.  Lalu ada banyak dana non APBN seperti BPJS, dana Haji (katanya) dan dana lainnya yang digunakan.  Belum lagi Hutang LN  yang bertambah pesat sejak infrastruktur-infrastruktur itu dibangun.
Jadi dibalik hebatnya Jokowi membangun Infrastruktur, mengapa kita tidak pertanyakan efektifitasnya dan dampaknya? Â Apakah memang Infrastruktur itu Skala Prioritas tertinggi untuk negeri ini?
Yang jelas dampak dari penggelontoran dana besar-besaran untuk membangun Infrastruktur adalah turunnya daya beli masyarakat akibat 2 subsidi dicabut. Â Ekonomi mikro melemah, pertumbuhan ekonomi stagnant 5 % dalam 4 tahun, BPJS kacau balau, Hutang LN makin menumpuk dan lain-lainnya. Â
Di sisi lain lihatlah LRT Palembang yang merugi Rp.10 milyar per bulan, lihatlah Bandara Kertajati yang belum dipakai sama sekali (yang ada hanya biaya pemeliharaan), lihatlah Tol Becakayu dan infratruktur lainnya.  Cukup banyak infrastruktur yang tidak efektif dibangun. Dan semua itu kalau tidak dipakai malah akan membebani APBN selain dari Hutang  LN yang timbul, hingga biaya pemeliharaannya.Â
Begitulah poin-poin yang saya katakan kepada pendukung Jokowi beberapa bulan lalu sebelum Pilpres 2019 digelar. Sayangnya gayung tidak bersambut, yang ada malah terjadi salah paham.
MENANTI Â PENDUKUNG JOKOWI BERSIKAP REALISTIS
Jauh hari sebelum Pilpres 2019 digelar, sebenarnya di kalangan masyarakat kelas bawah itu tidak ada perbedaan kondisinya. Baik pendukung Jokowi atau bukan semua sama-sama merasakan beratnya beban ekonomi sejak 2 subsidi dicabut sekaligus. Bedanya karena kecintaannya yang luar biasa pada Jokowi maka mereka bisa  ikhlas menerimanya dan membela Jokowi bila ada yang mengkritisi soal itu.
Kondisi mulai berbeda ketika terjadi carut-marut di BPJS. Para pengguna BPJS mulai was-was karena banyak RS yang menolak pasien BPJS. Sebagian kecil pendukung Jokowi mulai realistis dan mencoba ikut mengkritik Jokowi. Saya geli melihat pendukung fanatik dokter Tompi yang mengkritik Jokowi soal BPJS. Â Tapi memang itulah yang seharusnya dilakukan masyarakat.
Perbedaan mulai tampak serius ketika Tiket Pesawat Naik menggila. Lebih dari separuh pendukung Jokowi yang menggunakan transportasi jenis ini meluapkan kekesalannya di media social. Â Mereka berteriak memprotes Menteri Perhubungan sementara di sisi lain mereka juga mulai sadar tentang keberadaan Duopoli maskapai penerbangan.
Menggilanya harga Tiket Pesawat 7 bulan terakhir jelas memperlihatkan suatu fakta bahwa Menteri Perhubungan dan Jokowi sendiri sebagai Presiden  memang tidak mampu  mengendalikan harga Tiket Pesawat. Ada Duopoli yang begitu kuat posisinya.