"Wah, asyik bener tuh!" Itu mungkin reaksi pertama kamu saat mendengar kabar gaji hakim bakal naik sampai 280 persen.
Mengutip dari cnbcindonesia.com, saya ambil contoh yang terbesar, hakim PNS Golongan IV E dengan masa kerja 32 tahun. Jika sebelumnya digaji Rp6,3 jutaan, sekarang bisa bawa pulang antara Rp10,8 juta sampai Rp17,8 jutaan. Belum lagi tunjangan jabatan dan tunjangan lainnya.
Tapi pertanyaan besarnya: apakah angka-angka fantastis ini bakal jadi jaminan para hakim kita bebas dari godaan duit haram, suap, dan korupsi?
Memangnya segampang itu ya menyelesaikan masalah korupsi cuma dengan naikin gaji? Kalau iya, harusnya dari dulu semua pejabat negara digaji selangit aja, biar korupsi lenyap dari muka bumi. Sayangnya, realitanya tidak sesederhana itu.
Mentalitas Jadi Kunci, Bukan Nominal Gaji
Mari kita jujur pada diri sendiri. Korupsi itu penyakit mental, bukan sekadar masalah nominal gaji. Mau gaji dinaikkan 1000 persen sekalipun, godaan suap dan korupsi itu akan selalu jauh lebih besar dari gaji yang mereka terima.
Apa iya ada suap kasus hukum yang nilainya cuma ratusan ribu atau jutaan rupiah? Pasti angka yang ditawarkan bisa mencapai ratusan juta, miliaran, bahkan triliunan.
Nah, kalau hati nurani dan mindset-nya sudah kotor, sudah mental maling, dinaikkan berapapun gajinya ya bakal tetap jadi koruptor. Ini sudah jadi rahasia umum, kan?
Sebaliknya, kalau seseorang itu memang punya integritas, punya kejujuran yang mendarah daging, berapapun gaji yang mereka terima akan dijalankan dengan penuh amanah.
Mereka paham betul batasan-batasan dan tanggung jawabnya. Mereka nggak akan tergoda, sekalipun ada koper berisi duit miliaran melambai-lambai di depan mata. Ini bukan soal teori, ini soal moral dan karakter.
Pelajaran dari Kandang Kebun Binatang