Pukul delapan pagi, di sudut bengkel kecil itu, Pak Ridwan, seorang lelaki tua, menghabiskan waktunya dengan apa yang ia sebut "warisan terakhir."
Bukan berupa harta atau rumah besar, melainkan sebuah robot. Robot yang kini duduk diam di kursi kayu berdebu, setengah selesai, setengah hidup.
Pak Ridwan mengangkat tangan robot itu perlahan, mengamati setiap detail sambungan logam yang pernah ia poles dengan cinta. Ia mengambil obeng kecil dari meja, memperbaiki baut yang longgar di lengan kanan robot tersebut. Wajahnya tenang, tapi matanya dipenuhi riak kenangan.
"Sabar, Nak. Aku hampir selesai," katanya, meski ia tahu robot itu tak bisa mendengar.
Robot itu bukan sekadar mesin. Ia adalah replika dari Alif, anak laki-laki Pak Ridwan yang meninggal enam tahun lalu dalam kecelakaan lalu lintas.
Ketika dunia terus berjalan tanpa jeda, Pak Ridwan memilih untuk berhenti dan memulai proyek ini, menghidupkan kembali memori Alif dalam bentuk yang tak bisa mati.
Alif dulu seorang insinyur muda yang penuh semangat. Setiap akhir pekan, ia akan datang ke bengkel kecil ini, membawa proyek-proyeknya yang terlalu rumit untuk dimengerti ayahnya.
Mereka berdua akan duduk bersama, membicarakan mimpi-mimpi besar Alif yang ingin membuat robot penolong manusia. Mesin yang bisa menyembuhkan rasa sepi, teknologi yang bisa membangun dunia yang lebih baik.
"Bapak percaya nggak, manusia dan mesin bisa saling menyembuhkan?" kata Alif suatu kali.
Pak Ridwan hanya tertawa kala itu, menganggap ucapan anaknya sebagai fantasi anak muda. Tapi sekarang, ia tak punya pilihan lain selain percaya. Karena robot inilah yang menjaga kewarasannya selama enam tahun terakhir.