Siapa pun yang terbiasa dengan komunikasi ringkas pasti tahu rasanya dapat pesan suara dengan durasi bermenit-menit di WhatsApp.
Saya sendiri sebel banget kalau dapat pesan suara di WhatsApp. Rasanya seperti undangan untuk mendengarkan podcast eksklusif, cuma topiknya nggak jelas.
Lebih Cepat Dibaca, Bukan Didengar
Begini, dalam sebuah pesan kadang kita cuma pengen tahu poinnya apa. Kalau teks, tinggal scroll dan informasi langsung diterima.
Misalnya saya butuh alamat. Kalau diberi dalam bentuk teks, tinggal salin dan tempel di Google Maps. Tapi kalau dikasih dalam bentuk suara, apa yang terjadi?
Saya harus dengerin dulu, mencari alat tulis dan mencatat manual, atau lebih parahnya, putar ulang karena ada bagian yang nggak kedengeran. Ribet banget. Mana pendengaran saya agak rada-rada lagi...
Apalagi kalau isinya dipenuhi pengulangan atau cerita ngalor-ngidul. Hidup saya sudah cukup sibuk tanpa harus meluangkan waktu ekstra untuk mencerna kronologi lengkap tentang hari seseorang.
Pesan dalam bentuk teks juga punya kelebihan lain: fleksibilitas. Saya bisa baca kapan saja, di mana saja. Lagi meeting, lagi antre naik kereta, atau bahkan lagi di toilet.
Pesan Suara = Egois?
Ada sisi lucu sekaligus menyebalkan dari pesan suara. Secara tidak langsung, pengirimnya bilang, "Saya mau ngobrol sama kamu, tapi saya cuma mau dengar suara saya sendiri."
Mereka tidak mempertimbangkan bahwa pendengarnya harus menyediakan waktu, fokus, dan kadang earphone supaya tidak mengganggu orang sekitar.
Kebayang nggak kalau kamu harus mendengarkan pesan suara di tempat umum? Malu kan, kalau isinya ternyata hal pribadi?