Waktu dengar soal usulan pejabat harus naik transportasi umum minimal seminggu sekali, reaksi saya campur aduk. Antara pengen tepuk tangan buat idenya yang di atas kertas tampak keren, sama pengen geleng-geleng karena kok rasanya agak jauh dari realita. Tapi ya sudah, mari kita obrolin dengan santai dan realistis.
Kenapa Harus Transportasi Umum?
Banyak yang bilang, ide ini muncul karena masyarakat jengah melihat pejabat yang sering kali dianggap "terpisah" dari realitas rakyat. Ditambah lagi, ada kasus-kasus pengawalan berlebihan di jalan raya. Sirene, strobo, motor pengawal, bikin orang biasa jadi merasa, "Ah, memang beda dunianya."
Nah, mungkin niat usulan itu biar para pejabat ini bisa "turun ke bumi" dan paham betul apa yang dirasakan rakyat.
Tapi gini lho, kita tidak usah munafik lah. Kalau kamu tanya ke pekerja yang tiap hari desak-desakan di KRL atau TransJakarta, apakah mereka pengen pulang pergi ke kantor naik mobil pribadi dengan sopir? Hampir semua akan bilang, "Ya, maulah!" Karena siapa yang nggak pengen kenyamanan?
Jadi mengharapkan pejabat untuk menikmati pengalaman yang sama seperti rakyat rasanya agak naif. Bahkan kalau mereka naik transportasi umum, ada kemungkinan besar itu cuma buat formalitas dan pencitraan. Kamera siap, berita jalan. Abis itu balik lagi naik mobil dinas.
Kalau Mau Realistis, Mulai dari Mana?
Kalau usulan ini memang mau diterapkan, sebaiknya fokus dulu ke mereka yang langsung terkait dengan isu transportasi dan infrastruktur. Contohnya dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, atau Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Bukan berarti pejabat lain nggak usah ikutan. Tapi logikanya, kalau kamu bikin kebijakan soal mobilitas, kamu harus mengerti detailnya, termasuk pengalaman pengguna transportasi umum. Nggak mungkin kan pejabat dari Kementerian Luar Negeri atau Kementerian Kelautan dan Perikanan ikut membahas soal ini? Karena soal transportasi dan infrastruktur bukanlah domain mereka.
Dan nggak cuma seminggu sekali. Misalnya, mereka diwajibkan untuk mencoba semua moda transportasi umum di wilayah tanggung jawabnya dalam periode tertentu. Bukan cuma naik MRT di Jakarta yang sudah nyaman, tapi juga angkot, ojek online, bahkan kapal klotok di daerah-daerah terpencil. Supaya apa? Supaya mereka benar-benar bisa merasakan tantangannya.
Teladan atau Gimmick?
Ada argumen yang bilang, "Pejabat itu harus jadi teladan." Oke, fair. Tapi kalau pejabat naik transportasi umum cuma demi simbolisme, apa benar jadi teladan atau malah jadi gimmick belaka?