Mohon tunggu...
Ruli Trisanti
Ruli Trisanti Mohon Tunggu... Guru - pengajar

pengajar yang ingin belajar

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Pentingnya Komunikasi Dua Arah dengan Anak

2 Oktober 2022   07:24 Diperbarui: 2 Oktober 2022   07:30 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

"Iya, Bu. Baru sekali ini Dika mimpi gitu, kenapa, ya, Bu?" Kembali Dika bercerita.

Saya dan Bu Nia berpandangan satu sama lain. "Kenapa harus kamu gambar-gambar gini? terus pas pelajaran PKn. Pak Joni pikir kalian menggambar porno" cercah Bu Nia.

Di sini saya bukan sedang mau jadi pahlawan bagi dua bocah tanggung itu. Hanya saja, seperti yang saya sampaikan di awal, bahwa mereka buka tergolong siswa yang menimbulkan masalah. Sebaliknya, mereka termasuk siswa yang sopan. Bahkan, dari cerita Dika saya percaya bahwa dia adalah anak jujur dan perlu penjelasan. Saya merangkul bahu Dika. "Artinya Dika sudah dewasa"

Saya pandang wajah Bu Nia sambil tersenyum. "Ini, karena mereka masih polos, Bu"

Dari peristiwa itu, saya mengambil pelajaran. Apakah saya sudah dekat dengan anak laki-laki saya, sehingga dia berani bertanya dan berdiskusi atas perubahan yang dialaminya?

Dika Lebih memilih menceritakan mimpi basahnya, pada teman sekelasnya melalui gambar-gambar yang mengesankan porno. Padahal,seorang laki-laki memulai kedewasaannya ketika  pertama kali mimpi basah. Seharusnya orang tuanya lah yang pertama kali tahu.

"Tadi pagi setelah Dika bermimpi, dika sudah madi hadas, belum?"

"Belum, Bu. Karena Dika dak Tahu" Jawabnya tetap dengan mata belok penuh kepolosan.

sambil menahan tawa saya jelaskan padanya tentang kewajiban muslim ketika dia berhadas, termasuk setelah bermimpi basah. Tak lupa saya juga menjelaskan konsekuensi seorang laki-laki yang sudah bermimpi basah. Lalu kututup dengan berpesan padanya "lain kali Dika lebih baik bercerita pada mama atau ayah Dika sendiri, dari pada cerita pada Wido" Masih dengan gestur polosnya, Dika menjawab "Iya, Bu. Memanya dak papa, ya, cerita ke orang tua?"

Dika....Dika....

Namun, itu lah kejadiannya. Mungkin Dika malu bercerita pada orang tuanya. Perasaan malu, bahkan ketertutupan seorang anak dapat dipicu oleh beberapa hal, misalnya:

  • Tertutupnya ruang diskusi antara orang tua dan anak.
  • Orang tua menganggap masalah anak hanya seputar duania main-main yang bisa anak selesaikan sendiri.
  • Orang tua sering memotong pembicaraan anak, sehingga anak tidak perca diri untuk terbuka mengenai masalah yang mereka hadapi
  • anggapan bahwa masalah yang ''tabu'' tidak pantas dibicarakan atau didiskusikan di ruang keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun