"Pak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita hanya hidup berdua. Anak kita sudah dewasa dan telah menikah," tutur Suminem.
"Kita juga sudah punya cucu... tapi kenapa mereka tidak tinggal sama kita, Pak? Kita ini sudah tua lho, Pak," Suminem kembali mengajak bicara suaminya, Ponirin.
Sang suami hanya diam. Dia tampak menikmati sisa rokok yang sedari tadi ia sulut. Dia tak bisa banyak bicara. Pikirnya, memang sepatutnya anak perempuan yang telah menikah ikut suami, kan?
"Bagaimana ini, Pak?" tanya Suminem lagi.
"Aku tidak tahu, Bu," jawabnya.
"Kamu itu, tidak pernah berubah. Kalau ditanya selalu begitu. Ya pikirkan gimana caranya supaya anak kita mau tinggal disini, bersama kita," tukas Suminem.
"Mau gimana lagi, Bu... anak kita kan perempuan. Sudah sewajarnya mengikuti suaminya."
"Iya Pak, kalau itu Ibu tahu. Tapi, tidak ada salahnya kita mencoba untuk ngomong, supaya hidup kita tidak terlalu kesepian. Ada yang bantuin kita gitu lho, Pak."
"Ah, sudahlah, Bu. Kita tidak usah mendebatkan persoalan ini!"
Suminem lalu masuk ke ruang tengah untuk menonton televisi, meninggalkan Ponirin sendiri.
Terlihat dari raut wajahnya, betapa lelaki itu sangat kelelahan bekerja seharian. Sisa-sisa semangat dikumpulkannya untuk menghadapi esok yang lebih berat. Setelah menghabiskan dua batang rokok, Ponirin pun ikut masuk.