Saat sukses berada di genggamannya, Iwan justru makin tergoda oleh hangatnya kebersamaan bersama kakak, Â adik, dan orangtuanya. Ingatan tentang kakak sulungnya, Mbak Isa, yang begitu rajin dan rapi, tak pernah hilang dari benak Iwan,menggapai impiannya: menjadi seorang eksekutif perusahaan internasional di New York, tinggal di sebuah apartemen mahal di Manhattan, dan penghasilan yang luar biasa besar, tentu saja.
Saat sukses berada di genggamannya, Iwan justru makin tergoda oleh hangatnya kebersamaan bersama kakak, adik, dan orangtuanya. Ingatan tentang kakak sulungnya, Mbak Isa, yang begitu rajin dan rapi, tak pernah hilang dari benak Iwan.
Begitupun memori Iwan tentang Mbak Inan, kakak keduanya, yang berbadan gempal dan kerap disuruh mendorong angkot mogok dan mengangkat air dari sumur tetangga. Juga tentang Rini dan Mira, dua adiknya.
 Iwan sendiri menyebut buku ini memang bukan sebuah kisah sukses. "Ini cerita tentang perjuangan keluarga kami," tutur Iwan dalam satu launching bukunya di Oyster, Plaza Senayan, Jakarta, beberapa tahun yang lalu.
Iwan menambahkan, pendidikan merupakan faktor penting yang akan menjadikan nasib seseorang bisa berubah. Lagi-lagi Iwan dengan tegas memberikan penghargaan pada ibunya. "Ibu saya tidak tamat SD, tapi dia selalu ngotot agar semua anaknya harus bisa sekolah sampai universitas."
Berkat pendidikan tinggi, semua saudaranya terbebas dari belitan kemiskinan dan rasa rendah diri. Semua ini mereka jalani sebagai niat dan tekad bersama keluarga Iwan.Â
Berkat semangat yang ditanamkan ayah dan ibunya, Iwan bersaudara menjadi sosok-sosok manusia yang berani untuk punya mimpi. "Bermimpi itu boleh. Tapi yang tak kalah penting adalah bagaimana kita mengeksekusi mimpi itu. Bangun dari mimpi dan mulailah bekerja," ujar Iwan saat peluncuran novel ini.
Iwan mengawali ceritanya dengan kejadian pada tahun pertama tinggal di New York. Saat dia harus menghadapi hidup dan mati lantaran ditodong oleh pria Hispanik dan kulit hitam. Pada saat panik seperti ini, dia melihat sosok bocah kecil berbaju putih merah seperti seragamnya saat SD.
Sosok inilah yang dia jadikan "pemeran utama" dalam novel ini. Bocah berbaju merah ini dia jadikan jembatan untuk menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan Iwan.Â
Dia berkisah tentang masa kecilnya, masa remajanya, dan bagaimana hingga dia berhasil menjadi lulusan FMIPA IPB pada 1997 dan kemudian berkarir di sebuah perusahaan raksasa di New York.
Di satu sisi, gaya bertuturnya itu membuat novel ini tak mirip dengan buku cerita untuk anak-anak. Namun, di sisi yang lain, juga membuat kita terkadang harus mengernyitkan dahi sekedar untuk memahami jalan ceritanya.