Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

pelangidipagihari.blogspot.com seindahcahayarembulan.blogspot.com sinarigelap.blogspot.com eaglebirds.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Langkah Terakhir Menuju KPK

6 Agustus 2017   09:50 Diperbarui: 6 Agustus 2017   18:39 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: kieraha.com

Apa yang kita capai saat ini, adalah gambaran dari apa yang kita "imani". Dalam bahasa yang lebih sederhana, apa yang kita capai hari ini adalah hasil dari apa yang kita percayai.

Karakter itu bukan cuma kebiasaan. Lebih dari itu karakter adalah buah iman. Sekedar kebiasaan saja jauh dari cukup, apalagi jika itu kebiasaan buruk. Jangankan kebiasaan buruk, bahkan kebiasaan baik pun tak cukup kalau ia dibangun di atas orientasi nilai terbaik. Bangun pagi itu kebiasaan baik. Tapi jika niatnya cuma agar bisa melihat ibu-ibu sebelah senam pagi pasti bukan kebiasaan yang membuahkan nilai tinggi.

Maka penting sekali mempertanyakan apa yang sebetulnya kita imani. Apa yang kita capai saat ini, adalah gambaran dari apa yang kita "imani". Dalam bahasa yang lebih sederhana, apa yang kita capai hari ini adalah hasil dari apa yang kita percayai. Rumah, mobil, karir, itulah pernyataan dari apa yang kita pikirkan. Pikiran sungguh tak pernah bohong. Apa yang kita pikirkan itulah apa yang kita kerjakan. Anda tidak bisa mengerjakan soal-soal yang tidak Anda pikirkan. Itulah yang disebut kebiasaan. Pikiran itulah majikan kebiasaan.

Persoalannya, apa jadinya jika pikiran hanya terhenti pada masalah rumah, mobil, dan karir? Maka seluruh energi hidup ini akan habis hanya untuk urusan rumah, mobil, dan karir. Itulah kenapa ada orang yang demi untuk menegaskan keberhasilannya merasa harus membangun rumah dimana-mana, sampai yang bisa menempati hanya para pembantunya. Pikiran apa yang ada di benak orang ini? Semata-mata itulah pikiran salah paham. Rumah yang kelasnya hanyalah alat telah ia naikkan kelasnya menjadi tujuan. Karena cuma rumah mewah itulah tujuannya, maka hanya di titik itulah ia mengumpulkan seluruh konsentrasinya. Kemanapun kakinya melangkah hanya kepada memiliki banyak rumah itulah tujuannya. Akhirnya kakinya itu ia biarkan melangkah kemana-mana dan langkah terakhir malah cuma menuju KPK.

Wabah berbahaya manusia moderen bukanlah aneka penyakit dan terorisme dalam berbagai format. Wabah berbahaya itu bernama materialisme. Itulah biang seluruh perang kepentingan di hari ini. Seluruh cerita sukses yang dikembangkan di hari-hari ini ada kecenderungan hanya menuju sukses material. Maka tak peduli betapa remuk sebuah keluarga, betapa bejat sebuah kelakuan, jika mewah mobilnya, jika lancar bisnisnya, ia adalah orang sukses. Sukses bisnis itu akhirnya ditempatkan lebih tinggi dari sukses keluarga. Harga istri, suami, anak-anak akhirnya lebih rendah dari uang.

Kedudukan uang yang demikian tinggi itulah yang membuat harga diri bisa menjadi semakin rendah. Pada saat harga diri telah merendah itulah, apa saja bisa terjadi. Berbisnis bisa sambil merusak ekologi, menjabat bisa sambil korupsi sampai terkenal bisa sambil tercemar.

Maka, di posisi sukses yang mana kita sekarang berada?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun