Mohon tunggu...
Rudy Bastam
Rudy Bastam Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis untuk mengingat

Alumnus HI Unair Ex Kuli Tinta Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Didi Kempot, Perjalanan, dan Rasa Kehilangan

6 Mei 2020   15:37 Diperbarui: 6 Mei 2020   15:36 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi | Bandara Juanda Agustus 2019

Sambil memandangi jalanan yang basah karena gerimis dari balik jendela, tiba-tiba rasa rindu terhadap sesuatu itu menyeruak. Muncul saja. Padahal waktu itu juga lagi nggak punya pacar. Pernah ada yang begitu? Kalau iya berarti fix kita satu server.

Bagi saya Didi Kempot dan lagu-lagunya bukanlah hal baru. Tidak seperti remaja-remaja millennial yang kumpul di Solo itu. Cerita bermula saat saya waktu kecil, paman saya, adik dari ibu saya sangat gandrung penyanyi asal Ngawi itu. Saking gandrungnya, paman saya memanjangkan rambutnya hingga sepunggung, kemudian menggelungnya ke belakang. Didukung dengan perawakannya yang semakin menambah mirip dengan penyanyi kelahiran 1966 itu.

Dulu bagi saya, Didi Kempot tak ubahnya penyanyi Jawa pada umumnya. Tak ada yang istimewa hingga saya menyadari pada awal tahun lalu ketika Pakdhe Didi reborn lewat akun Youtube seorang youtuber. Saat itulah saya menyadari bahwa pria bernama lahir Dionisius Prasetya adalah musisi yang lintas generasi.

Lagu-lagu Didi Kempot mudah dicerna, liriknya dekat dengan keseharian, dan rima di tiap baitnya memudahkan pendengar untuk menngingat. Millennial kemudian mengidentikkan lagu-lagu Didi Kempot sebagai bagian dari rasa kegalauan romansa mereka. Tak berlebihan memang. Memang benar kata pengamat bahwa tema lagu yang long last adalah tema-tema tentang cinta. Itulah yang membuat lagu-lagu tema cinta Didi Kempot mendapat tempat dari generasi millennial. 

Saya tidak mengingkari bahwa diri saya seorang pencipta lagu dan penyanyi yang otomatis harus berkarya dan berkarya setiap hari tanpa memikirkan lagu itu laris atau tidak - Didi Kempot

Jika lagu cinta berhasil long last, maka musisi lain pun juga bisa. Tapi yang membuat Didi Kempot berbeda adalah originalitas dalam bermusik. Pakdhe Didi tidak pernah mengambil analogi percintaan yang njelimet dan jauh dari keseharian. Tidak pernah bercerita tentang hubungan long distance relationship antar negara pun tak pernah bercerita tentang gambaran ideal sepasang kekasih yang saling mengumbar pujian.

Lirik Didi Kempot selalu berlatar tempat yang akrab dengan keseharian kita. Stasiun, terminal, pelabuhan, pantai, tempat wisata, dan apapun itu nama tempat yang mudah ditemui. Bukannya Pakdhe Didi tak bisa berimajinasi tentang tempat-tempat yang jauh. Tapi saya menilai bahwa tempat-tempat itu, sadar atau tidak adalah tempat menunggu. Tempat memulai perjalanan. Tempat dimana janji terucap dan air mata tercurah. Tempat seseorang melakukan penantian, atau mungkin justru menghadapi perpisahan.

Saya punya cerita tentang bagaimana hal itu terjadi pada saya. Pernah suatu hari di tahun 2013 saat saya melakukan perjalanan ke Jakarta dengan menumpang bis dari Surabaya. Di tengah jalan, sang kenek memutar CD playlist Didi Kempot. Sambil memandangi jalanan yang gerimis dari balik jendela, tiba-tiba rasa rindu terhadap sesuatu itu muncul entah dari mana. Muncul saja. Padahal waktu itu juga lagi nggak punya pacar. Pernah ada yang begitu? Kalau iya berarti fix kita satu server.

Hal lain yang tersirat dari Didi Kempot adalah rasa kehilangan. Rasa kehilangan hampir selalu dituangkan Didi Kempot dalam setiap lagunya. Memang tak bisa dipungkiri bahwa di tempat-tempat seperti Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, Pantai Klayar, Tanjung Mas Semarang dan setiap tempat-tempat lainnya tentu dapat pula menjadi tempat perpisahan yang berkelindan dengan rasa kehilangan, tangis, dan air mata.

Pada akhirnya, perpisahan yang paling menyedihkan adalah perpisahan yang kita yakin tidak akan ada kesempatan bertemu kembali. Perpisahan  itu adalah kematian.

Selamat jalan. Sugeng tindak, Maestro Didi Prasteyo. Semesta berterima kasih untuk karyamu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun