Mohon tunggu...
Coach Rudy Ronald Sianturi
Coach Rudy Ronald Sianturi Mohon Tunggu... -

Terapis Klinis, CoachWriter, Trainer & Motivator

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dahsyat: Singkil dan Tolikara

16 Oktober 2015   10:06 Diperbarui: 16 Oktober 2015   10:29 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

___Kalau harus memilih antara agama dan cinta kasih, pilihlah cinta kasih (Dalai Lama, Pemimpin Spiritual Tibet)___

"Mas Rudy, anda menerjemahkan dengan dahsyat."

Aku masih ingat kata-kata pimpinan Terawang Press, Yogyakarta, puluhan tahun silam saat menyodorkan bayaran alih bahasa dari Inggris ke Indonesia. Beberapa manuskrip Buddhist yang aslinya dieditori oleh Li Yutang ini kemudian diberi judul 'Buddhisme Untuk Pemula', sekarang menjadi koleksi beberapa kampus di tanah air dan kalau tidak salah, Australia.

Aku tahu yang ia maksudkan. Pilihan kata, struktur kalimat dan gaya ekspresi yang kutampilkan memang 'sengaja'. Dalam proses kerja, aku benar-benar terpukau betapa banyak kesamaan antara Buddhisme dan Injil.

Ambil cerita Sidharta Gautama. Ibunya, Maya, yang dinuatkan akan melahirkan putra luar biasa dan 'tertusuk pedang' oleh karena pilihan anaknya. Tengoklah kisah sang Buddha yang digambarkan menggendong domba atau yang trenyuh melihat iring-iringan domba ke pembantaian. Bukankah ini cerita Yesus dan ibunda Maria?

Dan persis inilah rahasia 'kedahsyatan' yang dimaksud pimpinan penerbitan di atas. Aku semacam memakai langgam Kristen untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip Buddhist, tentunya dengan tetap 'setia' pada teks asli (Inggris) yang juga sangat nyastra itu.

Sebelumnya, aku sudah jatuh cinta pada buku 'Living Buddha, Living Christ', tulisan uddhist Vietnam Thich Nam. Begitu juga 'The Book of the Dead' dalam tradisi Buddhist Tibet. Yesus digambarkan pararel dengan sang Buddha!

Seluruh pengalaman ini sungguh membenamkan aku ke dalam ajaran kasih. Buddhisme membuka mataku akan kedalaman dan samudra raya pengalaman cinta dalam sabda-sabda Yesus.

Belasan tahun kemudian, aku harus menerjemahkan pengalaman personal akan Buddhisme dalam konteks yang sama sekali berbeda. Di Singapura, dalam satu seminar tentang proses rekonsiliasi di Kamboja yang notabene Buddhist (Pol Pot dan Kmer Merah tercatat sebagai masa paling berdarah setelah PD 2), seorang sarjana Barat  dengan pongah bertanya, "How could a loving Buddhist people kill each other so brutally?" (Bagaimana mungkin rakyat Kamboja yang penganut kasih saling membunuh demikian brutal?)

Semua orang terdiam. Kulihat narasumber dari Kamboja mengeras wajahnya, malu. Aku ambil inisiatif menjawab, "How could loving Christian peoples enslave Asia, Africa and Australia for centuries, build their churches, universities and everything else by stealing, lying, colonializing while making whores out of millions of women, so systematically in the name of so-called 'light' ?"

(Bagaimana mungkin orang-orang Kristen penuh kasih memperbudak Asia, Afrika dan Australia selama berabad-abad, membangun gereja, universitas dan segala sesuatunya dengan mencuri, menipu, menjajah, sembari membuat jutaan perempuan menjadi pelacur, dengan begitu sistematisnya atas nama 'cahaya'?)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun