Ada Agenda Apa di Balik Revisi UU TNI?
Baru-baru ini, revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menjadi perbincangan hangat. Perubahan ini membuka peluang bagi perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan di pemerintahan sipil tanpa harus pensiun terlebih dahulu. Langkah ini memicu berbagai pertanyaan kritis: Apakah ini sebuah kemunduran demokrasi? Apakah ada agenda tersembunyi di baliknya?
Sejak reformasi 1998, Indonesia telah berusaha membangun sistem pemerintahan yang murni sipil, dengan menegaskan supremasi sipil atas militer dan membatasi keterlibatan militer dalam jabatan-jabatan sipil. Langkah ini dianggap sebagai salah satu pilar utama dalam memperkuat demokrasi dan menghindari dominasi militer dalam politik. Namun, revisi terbaru UU TNI tampaknya membuka kembali peluang bagi militer untuk masuk ke ranah sipil, sebuah kondisi yang sejak reformasi justru coba dikurangi.
Pemerintah mengklaim bahwa revisi ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan nasional, terutama dalam menghadapi dinamika geopolitik yang semakin kompleks. Namun, banyak pihak, terutama para pengamat politik dan aktivis demokrasi, menilai bahwa revisi ini berpotensi menjadi langkah mundur yang mengancam prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan berbasis supremasi sipil.
Kilas Balik: Dwifungsi ABRI dan Reformasi 1998
Untuk memahami dampak revisi ini, kita perlu meninjau kembali sejarah peran militer dalam politik Indonesia. Pada masa Orde Baru, militer memiliki peran ganda melalui konsep Dwifungsi ABRI, yang memungkinkan TNI (saat itu masih bernama ABRI) untuk tidak hanya bertugas di bidang pertahanan tetapi juga mengisi posisi dalam pemerintahan sipil.
Konsep ini membuat banyak jabatan strategis, baik di pusat maupun daerah, didominasi oleh perwira militer. Akibatnya, kebijakan-kebijakan publik lebih sering mencerminkan perspektif keamanan negara daripada kesejahteraan rakyat. Otoritarianisme semakin menguat, dan supremasi sipil menjadi lemah.
Namun, setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, reformasi besar-besaran dilakukan, termasuk pemisahan TNI dan Polri serta pembatasan peran militer dalam ranah sipil. Reformasi ini dianggap sebagai kemenangan bagi demokrasi, dengan mengembalikan kendali pemerintahan sepenuhnya ke tangan warga sipil.
Kini, dengan adanya revisi UU TNI yang memungkinkan perwira aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun, banyak yang khawatir bahwa Indonesia bisa kembali ke era dominasi militer, di mana pengaruh sipil dalam pemerintahan semakin terpinggirkan.
Kemunduran Demokrasi?
Salah satu kritik utama terhadap revisi ini adalah potensi kemunduran demokrasi. Sejak reformasi, prinsip utama yang dijaga adalah bahwa urusan pemerintahan sipil harus dikelola oleh warga sipil, bukan oleh militer.