Kolonialisme yang sesungguhnya itu bukan gedung peninggalan penjajah tapi mental KKN Pejabat Negara yang menindas rakyat.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) merupakan penyakit kronis yang mencengkeram Indonesia, membelenggu pembangunan, serta menghalangi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Meski Indonesia telah lama merdeka dari penjajahan asing, praktik KKN yang melibatkan elite politik dan birokrat lokal menggantikan dominasi kolonial. Mereka yang seharusnya menjadi pengelola negara untuk kepentingan rakyat, justru memperlakukan negara dan sumber dayanya sebagai alat pribadi untuk memperkaya diri sendiri dan kroni-kroninya. KKN di Indonesia pada dasarnya adalah bentuk "kolonialisme internal," di mana penguasa lokal memperlakukan rakyat seperti subjek yang dapat dieksploitasi.
1. Teori Kolonialisme Internal dan Hubungannya dengan KKN
Dalam teori kolonialisme internal, para elit negara yang seharusnya melayani kepentingan rakyat justru bertindak sebagai penjajah. Mereka menggunakan kekuasaan yang diberikan oleh negara untuk mengeksploitasi sumber daya dan rakyat, mirip dengan cara penjajah asing mengeksploitasi wilayah koloninya. Frantz Fanon, dalam karyanya The Wretched of the Earth, menyebut bahwa kekuasaan pasca-kolonial sering kali disalahgunakan oleh elit lokal untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang menindas, mirip dengan penjajah kolonial. Fanon menyebut fenomena ini sebagai bentuk penjajahan oleh "borjuasi nasional" yang seringkali mengabaikan kebutuhan rakyat.
Di Indonesia, konsep ini tercermin dalam praktik KKN, di mana para penguasa lokal dan nasional menyalahgunakan kekuasaan untuk mengamankan kekayaan dan kekuasaan bagi diri mereka sendiri dan jaringan kolusi mereka, meninggalkan rakyat dalam keadaan tertindas. Paul Hutchcroft, seorang ahli politik, menggambarkan Indonesia sebagai negara yang mengalami "state capture," di mana negara telah "ditangkap" oleh sekelompok elit yang menggunakan sumber daya negara untuk keuntungan pribadi.
2. Korupsi: Bentuk Penjajahan Ekonomi Terhadap Rakyat
Korupsi di Indonesia bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat. Menurut laporan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) Indonesia pada tahun 2022 berada di angka 34 dari skala 100, menunjukkan tingkat korupsi yang masih signifikan. Korupsi berdampak langsung pada distribusi sumber daya yang tidak adil, memperparah kemiskinan, ketidaksetaraan, dan memperlambat pembangunan.
Ketika para pejabat menggunakan kekuasaannya untuk mengalihkan dana publik ke rekening pribadi, seperti dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau kasus Jiwasraya, rakyat yang seharusnya menikmati fasilitas publik justru menjadi korban. Korupsi ini memanifestasikan bentuk kolonialisme ekonomi, di mana elit menguras kekayaan negara sementara rakyat kecil tidak mendapatkan akses yang adil terhadap kesehatan, pendidikan, atau kesejahteraan sosial.
Robert Klitgaard, seorang ahli teori anti-korupsi, berpendapat bahwa korupsi tumbuh subur dalam sistem di mana kekuasaan terpusat dan kontrol rendah, serta di mana akuntabilitas minim. Di Indonesia, kontrol terhadap pejabat publik masih lemah, meskipun ada lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang terus berjuang melawan arus kuat kolusi di dalam struktur politik.
3. Kolusi: Kekuasaan dan Keuntungan Berkelompok
Kolusi mengacu pada kerja sama ilegal antara pejabat publik dan pihak swasta atau kelompok ekonomi tertentu untuk saling menguntungkan, seringkali di balik pintu tertutup. Di Indonesia, kolusi terlihat jelas dalam praktik pengadaan proyek pemerintah, di mana tender-tender publik diberikan kepada perusahaan yang dekat dengan pejabat pemerintah, tanpa melalui proses seleksi yang transparan. Kolusi inilah yang memperparah distribusi kekuasaan yang tidak merata dan menutup peluang bagi kelompok yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam ekonomi nasional.