Mohon tunggu...
Rudi Ahmad Suryadi
Rudi Ahmad Suryadi Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar Keislaman

Mengeja rangkaian kata dalam samudera khazanah keislaman

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Puasa yang Hanya Untuk-Nya

22 Mei 2020   13:17 Diperbarui: 22 Mei 2020   13:27 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pinterest.com

Tak terasa, hitungan waktu Ramadan akan berakhir.  Bulan mulia ini akan pergi meninggalkan. Kebahagiaan tiada tara ketika bulan ini memanggil kembali di tahun yag akan datang. Namun, apa yang telah kita selami, hakikat puasa hari ini.

Puasa menjadi ibadah yang tidak hanya menunjukkan ketundukan kepada perintah Allah Swt. Puasa melatih diri untuk tetap berusaha pada kebaikan, tidak tergoda oleh dorongan kejahatan.  Raga dipacu untuk menghindarkan diri perilaku yang membatalkan puasa.  Begitu pula jiwa ditekan untuk terus dipicu pada kebaikan. 

Imsak yang menjadi pengertian puasa sejatinya melatih diri tidak terjerumus pada godaan.  Selama setahun penuh, hanya satu bulan, raga dan jiwa dituntut untuk masuk pada penyucian diri. Sisa bulan yang lain, terkadang tergoda oleh dorongan-dorongan syahwat. Dorongan yang menjauhkan diri dari hakikat kebaikan manusia.

Puasa dipilih sebagai wasilah  untuk menyucikan diri.  Allah Swt. memanggil perintah puasa hanya ditujukan pada orang yang beriman. Redaksi ya ayyuha al-ladzina amanu, menunjukkan bahwa yang dipanggil adalah orang yang beriman. Orang yang tidak beriman, tidak masuk pada lingkup panggilan oleh-Nya.  Puasa sudah diawali dengan sentuhan panggilan yang baik.

Orang yang dipanggil untuk berpuasa, sadar bahwa dirinya orang yang beriman kepada-Nya. Ia dianggap sebagai makhluk yang dalam hatinya membenarkan ajaran-Nya, pada lisannya terucapkan kebenaran-Nya, dan perilakunya sebagai manifestasi keberimanan didorong pada kebaikan. Ketika puasa diperintahkan padanya, hati terbuka untuk menerima dengan keikhlasan.  Puasa tidak memberatkan dirinya.  Malah, hati bergembira karena Allah Swt menumpahkan kasih sayang untuk keutamaan dan menjauhkan diri dari kebinasaan hati.

Puasa membersihkan diri.  Syahwat dikekang beberapa waktu dalam perjalanan hidup.  Puasa menjadi jalan untuk memahami hakikat diri. Orang yang dipanggil puasa, terdorong untuk masuk pintu kezuhudan dan pengabdian pada-Nya.  Puasa menjaga panca indera, tubuh, dan hati  dari menafikan kebenaran.  Diri menerima isyarat untuk menyadari sisi kemanusiaan yang tak berdaya seraya menggantungkan diri pada-Nya.

Puasa menjauhkan diri dari dosa, gibah, munafik, dan bicara penuh kedustaan. Diri dikekang untuk tidak hasud dan melihat sesuatu yang haram. Bukanlah puasa, hanya dengan meninggalkan makan dan minum. Sejatinya, puasa mendorong hati untuk meninggalkan dosa dan maksiat.

Puasa menjadi ujian untuk keikhlasan hamba. Dengan puasa, keinginan dan syahwat terkendali.  Puasa mengandung kesucian hati, keberhasihan raga, kesejahteraan batin, dan mensyukuri nikmat dengan berbut baik pada orang fakir. Puasa menambah kedekatan dan kekhusyuan kepada Allah Swt. Manusia yang tercerahkan dengan puasa akan mengikis potensi kejelekan dengan menambah kebajikan.  Puasa memiliki faidah yang tak terhitung.

Imam al-Qusyairi (w.465 H/1074 M) berkata, orang yang menyaksikan bulan ini hendaklah ia berpuasa karena-Nya. Begitu pula, orang yang bersaksi atas kebenaran pencipta bulan, hendaklah ia berpuasa karena-Nya. Karena puasa mendatangkan pahala. Puasa untuk-Nya semakin menambah kedekatan pada-Nya. Puasa meneguhkan ibadah dan meluruskan kehendak. Puasa menjadi sifat setiap hamba, begitu pula sifat bagi setiap maksud mendekati-Nya. Puasa menegakkan situasi hati penuh harap pada-Nya.

Imam Abdul Qadir al-Jailani (561 H/1166 M) meneguhkan puasa orang zuhud hanya menahan makan dan minum. Sementara orang arif, menahan diri untuk tidak dikenal oleh manusia. Puasa orang zuhud pada siang hari. Puasa orang arif, siang dan malam. Orang arif merasakan lezatnya puasa dengan merasa bertemu dengan Yang Maha Baik. Hatinya dipenuhi dengan nuansa kebaikan.  Beliau pernah ditanya, "Puasa apa yang paling mulia?", beliau menjawab, " puasa yang di dalamnya hanya ditujukan untuk-Nya, sementara puasa itu sendiri, gaib baginya".

Sayyidah Nafisah, seorang sufi perempuan, sangat merindukan Allah Swt dengan berpuasa. Suatu saat sakit keras menimpanya. Keluarga dan sahabat menyarankan untuk berbuka, sementara dia sudah berpuasa selama 33 tahun. Dia tetap berpuasa, sampai ajal menjemputnya. Sebelum rahasia Allah Swt. (ajal) mendatanginya, Dia melantunkan sebuah syair "Jauhkan aku dari tabib. Kekasihku akan menjemputku. Semakin aku rindu pada-Nya". Beliau memulainya dengan membaca Q.S. al-An'am. Sampai pada lafal lahum darus salam 'inda rabbihim, ruh keluar dari jasadnya. Beliau wafat dengan penuh kerinduan pada-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun