Mohon tunggu...
Rudhotul Muhtasanah
Rudhotul Muhtasanah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Program studi kimia fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nilai Moderasi Dalam Tradisi Tandur

4 Desember 2021   23:43 Diperbarui: 4 Desember 2021   23:52 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia memiliki banyak pulau dan beragam kebudayaan, salah satu contohnya di pulau Jawa. Pulau Jawa dikenal dengan kentalnya adat istiadat serta tradisi yang berhubungan dengan nilai agama dan nilai luhur yang masih banyak dijaga oleh masyarakat hingga saat ini. Misalnya Upacara Tradisi Tandur yang berasal dari Dukuh Ngleses, Desa Pandeyan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penghormatan kepada para leluhur serta Dewi Sri yang diyakini oleh masyarakat sebagai penuggu sawah atau sing mbahureksa sawah. Dewi Sri dianggap sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran bagi para petani yang menggarap sawah mulai dari masa tanam hingga masa panen.

Meskipun ada juga dari masyarakat Jawa  yang menganggap tradisi ini salah dan melanggar agama islam, tetapi tradisi ini masih tetap dilestarikan oleh kebanyakan masyarakat. Karena mereka ingin tetap melestarikan warisan budaya dari para leluhur nenek moyang dan menurut mereka akan terjadi bencana seperti kelaparan, gagal panen dan bencana lainnya jika tradisi ini tidak dilakukan. Masyarakat Jawa sangat percaya dengan adanya makluk halus dan masing-masing kepercayaan menganggap bahwa makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan. Asal usul lahirnya tradisi ini berhubungan dengan cerita rakyat Dewi Sri dan Ki Sedana.

Kisah ini menceritakan adanya pertarungan Ki Sedana, adik dari Dewi Sri dengan Celeng Sarenggi dalam memperebutkan padi. Dari pertarungan tersebut Ki Sedana berhasil menewaskan Celeng Seranggi, tetapi kisah ini menceritakan bahwa jasad Celeng Sarenggi akan berubah wujud menjadi berbagai macam hama yang akan mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Oleh karena itu, untuk mencegah hal tersebut terjadi, para  petani akan melakukan Upacara Tradisi Tandur atau yang sering disebut Nglekasi Tandur, yang dilaksanakan pada saat akan menanam bibit padi. Pada saat pelaksaksanaan tradisi ini juga perlu memperhatikan petungan khusus. Hal ini dilakukan agar kuat dan membawa berkah dalam menananmnya dengan mmperhatikan nilai angka dari tahun, bulan, hari, dan pasaran.

Setiap kebudayaan pasti memiliki sistem religi atau nilai keagamaan didalamnya. Sistem religi adalah unsur yang paling lambat mengalami perubahan dibandingkan unsur-unsur lainnya, hal ini disebabkan karena tradisi adalah warisan yang sifatnya turun-temurun, sehingga sangat sulit untuk dirubah. Nilai keagamaan dalam Upacara Tradisi Tandur ini dapat dilihat dari tujuan dasar tradisi ini dilakukan, yaitu sebagai wujud rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan kelancaran saat mengerjakan sawah dan mendapatkan hasil panen yang berlimpah. Selain kepercayaan pada Tuhan, tradisi ini dilakukan sebagai penghormatan kepada Dewi Sri dengan memberikan imbalan dalam bentuk sesaji-sesaji agar tanaman padi terhindar dari hama dan dapat tumbuh subur.

Upacara Tradisi Tandur ini dilakukan dengan mempersiapkan berbagai macam sesaji yang dipersembahkan untuk para leluhur dan Dewi Sri. Sesaji ini terdiri dari dua macam yaitu sesaji yang dimasak dan tidak dimasak. Contoh sesaji yang dimasak yaitu ingkung, inthuk-inthuk, bubur, dan katul  sedangkan sesaji yang tidak dimasak yaitu gedhang setangkep, pecok bakal, kinang suruh, kembang setaman, tetuwuhan, godhong lompong, godhong dlingo, godhong bengle dan duwhit wajib. Tradisi ini dilakukan di sawah milik petani yang hendak menanam padi setelah masa panen. Upacara Tradisi Tandur dimulai dengan menancapkan tetuwuhan di pojokan sawah kemudian meletakkan sesaji yang sudah disiapkan lalu dilanjutkan dengan membaca do'a. Do'a yang dibaca antara lain surah Al-Fatihah, surah An-Nas, dan do'a yang disesuaikan dengan keyakinan dan tujuan masing-masing.

 Nilai moderasi yang melandasi tradisi tersebut adalah nilai penerimaaan terhadap tradisi. Hal ini dikarenakan beberapa masyarakat di desa tersebut ada yang tidak setuju dengan tradisi Tandur ini. Karena bagi mereka tradisi tersebut tidak sesuai dengan syariat islam. Meskipun mereka tidak setuju, tetapi mereka tidak melarang masyarakat lainnya yang mempercayai tradisi tersebut untuk melaksanakannya. Karena bagi mereka itu pilihan masing-masing masyarakat sesuai dengan kepercayaannya, mereka tidak bisa memaksakan masyarakat lainnya untuk menghentikan dan meninggalkan tradisi tersebut karena itu merupakan tradisi warisan turun temurun dari nenek moyang yang mempercayai keyakinan itu.

Nilai moderasi yang melatarbelakangi tradisi ini yaitu nilai ramah budaya (i'tibarul 'urf), karena masyarakatnya saling memahami dan menghargai masing-masing budaya dan tradisi yang yakini oleh masyarakatnya. Sehingga tradisi ini dilatarbelakangi dengan sikap ramah budaya dari masyatakatnya yang tidak mempermasalahkan tradisi ini jika tetap ada dan dilakukan oleh masyarakat yang meyakini Upacara Tradisi Tandur ini. Karena selama hal itu tidak merugikan yang lainnya, maka itu tidak masalah. Selain itu, nilai-nilai budaya yang damai dan ajaran agama yang ramah terhadap budaya masyarakat setempat yang membuat tradisi ini dapat diterima dilingkungan sekitarnya. Tradisi ini berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Esa, menciptakan gotong royong dan kerukunan, serta melestarikan tradisi leluhur.

Upacara Tradisi Tandur ini dulunya banyak dilakukan oleh masyarakat, tetapi seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan tentang keagamaan khususnya agama islam saat ini tidak banyak masyarakat yang melakukan tradisi tersebut, karena mereka tahu bahwa tradisi ini sedikit menyimpang dari syariat islam. Pemberian sesaji dan penghormatan kepada para leluhur dan Dewi Sri merupakan kepercayaan yang sebenarnya salah dan tidak sesuai dengan agama islam, tetapi masyarakat yang mempercayainya juga menyesuaikan tradisi ini dengan konsep islam dimana saat tradisi ini berlangsung juga diiringi dengan do'a dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun