Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... PNS -

Ingin seperti padi: Semakin berisi semakin merunduk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keteladanan dari Buya Hamka

5 Mei 2015   10:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Generasi muda sekarang mungkin tidak banyak mengenal sosok Prof. Dr. H. Abdul Malik bin Haji Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka. Untunglah salah satu novelnya yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Derwijk”, diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Sehingga sedikit banyak orang ingat kembali ke sosok beliau, sebagai pengarang novel tersebut.

Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan yang cukup terkemuka di zamannya. Pada masa itu tidak banyak ulama yang sekaligus berprofesi sebagai sastrawan.

Akibat kesastrawanannya banyak ulama pada masa itu—terutama kalangan tradisional—mengkritiknya karena apa yang dikerjakannya di luar kelaziman.

Beliau tidak pernah mengikuti pendidikan secara formal. Pendidikannya yang dijalaninya adalah pendidikan di Surau di kampung halamannya, Sumatera Barat.

Beliau mempunyai minat dan bakat yang di bidang agama dan sastra—dibuktikan dengan melahirkan sejumlah kitab/buku di bidang agama dan sastra—menarik perhatian beberapa lembaga pendidikan seperti Universitas Al Azhar, Mesir, dan Universitas Kebangsaan Malaysia untuk memberikan gelar Dr. Kehormatan (Dr. Honoris Causa). Gelar itu dilengkapi dengan penganugerahan Prof. (guru besar) dari universitas dalam negeri.

Beliau adalah seorang ulama moderat. Pemikirannya banyak dipengaruhi Sayid Jamaluddin al Afghani (Pakistan), Sayid Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha (Mesir)—yang dipengaruhi juga oleh Ibnu Taymiah, yang beraliran rasional, mengaju kepada ajaran Salafi.

Karena itu pikirannya yang rasional itu tidak heran banyak ulama tradisional yang kurang sejalan dengan pemikiran beliau ketika itu. Bahkan beliau dituduh telah termakan alam pikiran Barat, tidak murni lagi keislamannya.

Sebagai seorang ilmuwan beliau menggunakan pena untuk menjawab keraguan orang terhadap pemikiran dan pendirian beliau—sesuatu yang sulit dilakukan ulama tradisional ketika itu. Seiring perjalanan waktu pemikiran beliau mendapat tempat di kalangan kaum muda yang sudah mendapat pendidikan modern.

Sebagai seorang ulama beliau teguh pendirian, apalagi bila terkait dengan Aqidah (pokok-pokok ajaran Islam). Tetapi sangat luwes bila menyangkut Muamalah (hubungan kemasyarakatan).

Beliau sangat menjaga jarak dengan penguasa. Tidak dekat, tidak pula beroposisi. Semua itu dilakukan agar beliau tetap independen dalam bersikap dan berfatwa.

Suatu ketika Pemerintah Orde Baru meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang beliau pimpin membuat fatwa tentang Natal Bersama. Beliau tegas mengatakan haram hukumnya orang Islam ikut merayakan Natal Bersama itu. Alasannya, merayakan Natal bagi orang Kristiani sama dengan merayakan kelahiran Yesus yang dianggap Tuhan Ini bertentangan dengan aqidah Islam yang tidak mengakui Yesus itu sebagai Tuhan, melainkan sebagai Nabi dan Rasul Allah Swt.

Akibat fatwa tersebut hubungan beliau sebagai Ketua MUI memburuk dengan Soeharto selaku penguasa Orde Baru. Soeharto ingin beliau mencabut fatwa tersebut, paling tidak memperlunaknya, karena dikhawatirkan dapat memecah belah bangsa yang sedang membangun di segala bidang kehidupan. Tentu saja Buya Hamka tidak mau. Akhirnya beliau mengundurkan diri sebagai Ketua MUI. Begitulah konsistennya beliau dalam mempertahankan prinsip yang dianggapnya sebagai kebenaran yang berasal dari Allah Swt.

Sebaliknya dalam bidang Muamalah (hubungan kemasyarakatan) beliau sangat familiar. Beliau berhubungan baik dengan tokoh-tokoh agama lain, Katholik, Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya. Beliau sangat menghargai perbedaan agama, menghormati kepercayaan pemeluk agama lain.

Selain itu beliau terbuka untuk berdiskusi tentang keagamaan. Itu antara lain beliau lakukan dengan salah seorang tokoh Katholik, Pendeta Dr. Viktor I Tandja. Hubungan keduanya sangat baik. Bahkan ketika Pendeta Dr. Viktor I Tandja menulis disertasi tentang HMI, Buya Hamka-lah salah satu narasumbernya.

Karena ahklaknya yang baik banyak orang yang berdatangan ke rumahnya, dengan berbagai keperluan, mulai urusan agama, rumah tangga, ekonomi. Tamu yang datang itu dari berbagai suku-bangsa dan agama.

Ceramah subuhnya di RRI atau di televisi sangat ditunggu-tunggu penggemarnya. Kasetnya laris.

Begitu juga dengan Majalah Pandji Masyarakat, selalu ditunggu-tunggu pembacanya.

Penggemar beliau selain menyebar di seantero Tanah Air, juga sampai ke Semenanjung Tanah Melayu, Singapura dan Thailand Selatan.

Akibat ceramahnya yang sejuk, jauh dari hasutan, tidak sedikit kalangan non muslim yang masuk Islam, dan beliau sendiri yang mengislamkannya. Ada pula diantara muallaf itu yang dijadikan sebagai anak angkat. Karena merasa nyaman berada di rumah beliau.

Ketika seseorang ingin masuk Islam beliau menyampaikan, apakah mereka masuk Islam dipaksa atau tidak, apakah mereka tahu konsewensi setelah masuk Islam? Bila mereka sudah mantap pendiriannya, barulah mereka di Islamkan.

***

Dalam bidang politik beliau ikut dalam Partai Masyumi. Tetapi beliau kurang berbakat—tepatnya tidak mau terlalu menggeluti—dunia politik. Tetapi tidak buta politik. Tulisannya di bidang politik dapat kita baca di Majalah Pandji Masyarakat dalam rubrik Dari Hati ke Hati yang diasuhnya. Analisanya tulisan tajam dan mendalam.

Setelah keluar dari partai, beliau diangkat menjadi Pegawai Tinggi Kementerian Agama, juga dosen diberbagai perguruan Tinggi Islam. Tetapi itu pun tak lama dilakoninya. Beliau ingin bebas dalam mengekspesikan pemikirannya. Karena beliau lebih suka menekuni dunia tulis-menulis dan berceramah baik di dalam maupun luar negeri.

Dalam perang kemerdekaan beliau sangat aktif berjuang. Mengingat jasa-jasa dan pengetahuannya yang mendalam di bidang agama Islam, Pemerintah Orde Baru melalui Jendral Besar Dr. Abdul Haris Nasution, pernah menawarkan Mayor Jendral Tituler, tetapi beliau tolak secara halus.

Demi melihat pemerintahan Orde Lama sudah mulai keluar sedikit demi sedikit dari jalur yang seharusnya, dan meningkatnya peran Komunis, beliau mulai mengkritik Presiden Soekarno beserta jajarannya. Akibatnya, semua itu harus beliau bayar dengan harga mahal: beliau difitnah dan akhirnya mendekam di penjara. Semua tulisan dibeslah. Akibatnya beliau menderita secara ekonomi. Karena salah satu sumber kehidupannya adalah melalui royalti tulisan, ataupun melalui ceramah.

Walaupun beliau terpenjara secara fisik, tetapi pikirannya justru merdeka. Selama masa tahanan itulah beliau bisa merampungkan sebuah karya agung yang terkenal hingga sekarang yaitu Tafsir Al Azhar, 30 Juz!

Beliau baru dibebaskan dari tahanan setelah rezim Orde Lam tumbang, dan digantikan rezim Orde Baru.

Dari tulisannya di tafsir Al Azhar tersebut kita dapat melihat kedalaman ilmu beliau, bukan hanya terkait ilmu agama, tetapi juga sejarah, sosiologi, filsafat, hukum—dan tak kalah pentingnya adalah kepiawaiannya dalam menulis. Sehingga tulisan tidak membosankan, dan terasa enak dibaca. Tulisannya menggunakan gaya bertutur.

Salah satu kunci tulisannya itu terasa enak adalah karena kesastrawannya itu. Beliau pernah menjelaskan pentingnya seseorang membaca karya sastra: gunanya untuk memperhalus perasaan dan budi pekerti, katanya).

***

Dalam ormas beliau ikut dalam Muhammadiyah. Agaknya, semua orang, sekurang-kurangnya, pernah mendengar kata Muhammadiyah itu. Ya, karena boleh dikatakan Muhammadiyah itu ada di seluruh pelosok Indonesia. Amal usahanya, pendidikannya, rumah sakit, banyak bertebaran di mana-mana. Cabang Muhammadiyah juga ada terdapat di Malaysia, Singapura, Thailand, Amerika, Eropah, Afrika, dan sebagainya.

Selain itu beliau juga ormas Islam Internasional seperti OKI, dan sering juga hadir dipertemuan yang membahas keagamaan atau humaniora.

Walaupun Ormas yang beliau masuki Muhammadiyah tetapi beliau sangat menghargai ormas lainnya seperti Nahdatul Ulama, Perti, Persis, dan sebagainya.

Pernah suatu ketika beliau salat subuh, sebelum rukuk pada rakaat terakhir, beliau berdiri agak lama. Rupanya itu sengaja beliau lakukan untuk memberikan kesempatan kepada jamaah yang ingin membaca Doa Qunut. Sedangkan beliau sendiri jarang membaca Doa Qunut tersebut. Begitulah toleransi dan kebesaran jiwa beliau terhadap persoalan khilafiah.

***

Ulama kharismatik tersebut berpulang ke pangkuan Ilahi tahun 1980 karena penyakit tua. Ribuan orang datang melayat, termasuk Presiden Soeharto sendiri.

Buya Hamka itu tidak pendendam. Beliau dapat memisahkan urusan aqidah, politik dengan urusan pribadi, kekeluargaan, dan agama.

Itulah sekelumit tentang Buya Hamka, yang tidak bisa saya gambarkan seutuhanya, karena keterbatasan kemampuan saya merangkai kata-kata dan kurangnya pengetahuan saya tentang beliau itu.

Sebagaimana lazimnya warga Muhammadiyah, hari kelahiran dan kematian beliau, tidak dirayakan. Kuburannya pun sederhana saja: hanya gundukan tanah, ditanami rumput, di atas kepalanya dibuat nisan yang berisi nama, tanggal lahir dan wafat beliau. Allahummagh fir lahu war hamhu wa ‘afihi wa’fu anhu.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun