Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Konsultan bidang peternakan

Penulis dan Peneliti, pada KPP (Komite Pendayagunaan Petani), PERSEPSI (perhimpunan ilmuwan Sosek Peternakan Indonesia), HKTI (himpunan kerukunan Tani Indonesia) Jabar, PB ISPI (perkumpunan Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia), DPN (dewan Persusuan Nasional) dan YCI (yayasan CBC Indonesia),

Selanjutnya

Tutup

Nature

rasio ternak dengan lahan usaha tani

12 Mei 2025   06:20 Diperbarui: 12 Mei 2025   06:19 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

artikel lama yang masih aktual.......

Pada tahun 2001, sektor usaha kecil menengah mampu memberikan kontribusi PDRB yang cukup berarti (55,60 persen) bagi pembangunan di Jawa Barat. Dimana peran usaha kecil (39,79 persen) masih mengandalkan sektor pertanian, ketimbang sektor non pertanian (Maman S dan Noneng K.N. 2003). Selain itu, sektor pertanian pun mampu memberikan tambahan kesempatan kerja tertinggi jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Menurut LP3E Fakultas Ekonomi Unpad (2002) sektor pertanian mampu menciptakan peluang kerja sebanyak 140 orang per Rp. 1 milyar tambahan permintaan akhir, lebih besar daripada sektor industri yang hanya 79 orang. Kenyataan ini memberikan indikasi, bahwa nilai manfaat pengembangan sektor pertanian lebih banyak dinikmati masyarakat luas ketimbang sektor industri.

            Menurut para pengamat, bahwa pengangguran yang tinggi lebih dari 32 juta orang angkatan kerja pasca krisis ekonomi (sebagian besar berkumpul di pedesaan) terutama disebabkan karena : Pertumbuhan ekonomi yang rendah (2--3 % per tahun), dimana setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyediakan lapangan kerja baru sekitar 400.000 tenaga kerja, sementara pertambahan angkatan kerja baru di Indonesia 2,5 juta orang setiap tahunnya. Selain itu, Kebutuhan pangan bagi rakyat yang semakin tergantung dari impor dengan tingkat ketergantungan yang semakin tinggi.

            Atas dasar berbagai kondisi tersebut, pilihan membangun sektor pertanian sebagai tulang punggung ekonomi pedesaan, merupakan suatu keharusan. Untuk itu, berbagai kebijakan pembangunan pertanian mutlak harus berpihak kepada petani. Jika tidak, bagaimana melindungi petani dari ancaman globalisasi ekonomi ? Pertanyaan ini muncul, didasarkan kepada fakta bahwa di era globalisasi saat ini, negara maju memiliki strategi melindungi "sektor pertaniannya" dari perdagangan bebas sedangkan negera-negara berkembang seperti Indonesia, justru melindungi "sektor industrinya", sementara sektor pertanian dilepas untuk bertarung di pasar bebas dengan kondisi seadanya.  Kenyataan ini tampak pada berbagai kebijakan yang masih diperkenankan untuk memproteksi petani dengan menggunakan "kebijakan tarif (bound tariff)", malah tidak dimanfaatkan oleh pemerintah secara optimal. Seperti pada kasus impor susu, daging sapi, daging ayam, telur, jagung dsb.

Organik Farming

Pengembangan agribisnis pertanian dalam beberapa puluh tahun terakhir, dirasakan mulai kebablasan. Sementara berbagai negara maju telah lama meningggalkan "pertanian petroleum"  yaitu meninggalkan penggunaan pupuk anorganik (sebagai produk ikutan industri petroleum) dan kembali kepada pertanian organik,  di sisi lain petani di negeri ini telah berbudaya menggunakan pupuk anorganik. Mereka sulit meninggalkan pupuk anorganik. Dampaknya, kita saksikan bersama impor besar-besaran pupuk buatan dari negera-negara maju ke negri ini, berakibat pada lahan yang membatu pada musim kemarau. Sehingga, petani tidak lagi mampu berproduksi dengan baik pada musim kemarau. Selain itu, tampak pula ketergantungan terhadap impor hasil-hasil pertanian yang semakin tahun semakin signifikan.

Kini, kita baru sadar bahwa "organic farming" merupakan kunci jawaban terhadap reklamasi lahan. Lihat saja, di jalur pantura Jawa Barat, sejak irigasi Jatiluhur di introduksi, penggunaan ternak kerbau sebagai tenaga kerja pengolah lahan dan sekaligus penghasil pupuk organik digantikan oleh mesin-mesin pertanian yang tidak lagi mampu menghasilkan pupuk alam. Selama puluhan tahun pasca irigasi Jatiluhur, pupuk buatan merjalela di lahan-lahan pertanian sehingga membentuk budaya petani dalam penggunaan pupuk buatan dengan meninggalkan ternak di lingkungannya.

Celakanya lagi, pemerintah tidak peka terhadap masalah ini. Hingga kini, di Jawa Barat yang memiliki potensi populasi kerbau cukup besar secara nasional tidak memiliki UPTD (unit pelayanan teknis daerah) sebagai sentra kajian bagi pengembangannya di Jawa Barat. Disisi lain berbagai kajian teknis dan ilmiah (Biocyclo Farming, Zero Waste, Crop Livestock System dsb) yang dilakukan lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi membuktikan bahwa kehadiran ternak dalam usaha tani mutlak mampu meningkatkan produktivitas lahan usaha. Berbagai teori produksi pun menyatakan bahwa pemberian pupuk buatan sampai pada titik tertentu akan memberikan dampak kejenuhan lahan, sehingga produksi hasil pertanian akan menurun.

 

Manfaat Ternak

            Perubahan paradigma pembangunan pertanian, telah mencanangkan program pertanian organik, sebagai jawaban terhadap kondisi krisis. Meninggalkan konsep pertanian anorganik ke pertanian organik, memberikan konsekuensi bahwa sarana dan prasarana penyedia pupuk alam (organik) harus mampu mencukupi kebutuhan petani. Salah satu penyedia pupuk organik yang handal adalah usaha peternakan. Membangun peternakan tentu akan memberikan dampak yang luas terhadap pembangunan pertanian dengan segala industri ikutannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun