Sudah 20 tahun lebih swasembada daging sapi didengungkan Pemerintah, dimana salah satu tujuan program ini adalah ketersediaan daging sapi dengan harga murah. Pada kasus ini pemerintah mengharapkan harga daging yang terjangkau oleh masyarakat luas.
Namun, faktanya harga daging sapi terus meningkat, tidak pernah turun dari Rp. 67ribuan/kg (2010) menjadi Rp. 120 ribuan (2024). Berbagai kebijakan yang telah ditempuh, mulai dari membuka keran impor daging sapi tanpa kuota impor, impor jeroan, ukuran bobot badan sapi bakalan impor, sapi siap potong yang di impor, kebijakan mengimpor sapi betina produktif, menghukum pengusaha feedlot yang “katanya” melakukan kartel, menyusun “road map” Indonesia sebagai lumbung pangan dunia, membuat program SIKOMANDAN dan Upsus SIWAB, bahkan menetapkan kebijakan kontroversial yaitu membuka keran impor daging kerbau beku dari India yang dimonopoli oleh BUMN. Disebut kontroversial, karena bertentangan dengan UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun, semua kebijakan tersebut tidak membuat harga daging sapi turun, bahkan sebaliknya.
Dampak berbagai kebijakan tersebut, menurut BPS (2023) populasi ternak sapi malah menurun drastis dari 14,4 Juta (2013) menjadi 11,3 Juta (2023), apalagi jika penurunnya dihitung berdasarkan data populasi 18,6 Juta (Ditjen PKH, 2022); importasi daging sapi makin membesar yaitu, pada tahun 2000 hanya 30 ribuan Ton, namun pada tahun 2022 mencapai 275 ribuan Ton; terpuruknya perusahaan penggemukan sapi dan peternakan rakyat, serta terjadinya wabah PMK yang memprihatinkan, pada tahun 2022. Semua kondisi ini menjadi penyebab menurunnya minat beternak sapi yang ditunjukan oleh oleh menurunnya jumlah rumah tangga peternak sapi potong secara nasional dari tahun 2013-2018 sebesar 19,1%.
Pemerintah kini, menggunakan terminologi P2SDN (Program Peningkatan Susu dan Daging Nasional) dalam mendukung program MBG, sebagai pengganti swasembada daging sapi. Program ini, akan melakukan importasi 1,3 juta ekor sapi dalam lima tahun.
Dalam menghadapi Idul Fitri tahun ini, Pemerintah berencana mengimpor 180.000 ton daging sapi/kerbau yang merupakan bagian dari kuota impor daging sapi dan kerbau sebanyak 280.000 ton. Program ini secara operasional dilakukan dengan kegiatan operasi pasar dengan harga yang di patok untuk daging kerbau beku Rp. 75 ribu/kg. Mampukah kebijakan ini mengendalikan harga daging sapi ?
Harga daging
Harga, merupakan variable yang terbentuk sebagai akibat adanya penawaran dan permintaan. Variable ini merupakan indikator yang paling akurat dan bisa dipercaya. Berbeda dengan variable penawaran dan permintaan, datanya sangat sulit dipercaya. Jika saja harga daging sapi ditentukan di awal analisis, sementara permintaannya tidak diketahui akurasinya? Akan mampukah harga daging sapi yang dikendalikan akan menurun?
Pasalnya, banyak cara untuk menganalisis permintaan akan daging sapi, misalnya; atas dasar kebutuhan protein hewani manusia Indonesia. Ada yang menghitung dari besarnya pangsa belanja rumah tangga. Ada juga yang menghitung permintaan daging sapi atas dasar jumlah ternak yang dipotong ditambah dengan importasi daging dan produk daging lainnya. Selain itu, ada pula yang menghitung bahwa konsumsi daging sapi atas dasar partisipasi konsumsi komoditi tersebut. Kesemuanya metode ini dapat digunakan sesuai dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Oleh karenanya tidak aneh jika data konsumsi daging nasional berbeda-beda.
Demikian halnya dengan data mengenai penawaran akan daging atau ketersediaannya. Ada yang menghitung berdasarkan populasi ternak yang ada, padahal ternak tersebut milik masyarakat luas yang belum tentu mereka mau menjual ternaknya, hitungan populasinya pun sangat meragukan. Keraguan terhadap data ini, telah menyebabkan Boedyana (2022) melaporkan kepada Ombudsman, mengenai kemungkinan adanya mal-administrasi tentang data bobot sapi yang dipotong di RPH. Berdasarkan kasus data pada buku statistik terbitan resmi pemerintah di NTT dan Jawa Tengah, jika dianalisis menggunakan data tersebut maka rata-rata bobot potong sapi lokal di atas 1.000 kg/ekor. Fakta lapangannya rata-rata bobot potong sapi di dua daerah ini tidak lebih dari 500 kg/ekor.
Mengendalikan Harga Daging
Jika pemerintah ingin mengendalikan harga daging, kebijakannya tidak cukup hanya mengutak atik angka importasi. Pasalnya, pengendalian harga daging berkaitan erat dengan kebijakan pendukungnya, seperti : (1) Data, sebagai dasar suatu analisa merupakan hal yang paling krusial pada kasus ini. (lihat) Kasus penyelesaian data pemotongan ternak sapi yang dipermasalahkan di Ombudsman, tidak menghasilkan solusi atau kesimpulan yang jelas untuk digunakan sebagai dasar analisis kebijakan harga. (2) Pola Perbibitan, yang tidak terarah menyebabkan menurunnya SDG (Sumber Daya Genetik) sapi lokal. Sehingga hitungan populasinya sangat tinggi, namun berat badannya sangat rendah (produktivitasnya menurun). (3) Analisis rasio impor dan produksi domestik tidak digunakan sebagai dasar kebijakan. Sehingga kebijakan impor tidak merangsang terhadap pertumbuhan atau perkembangan sapi domestik. Dengan kata lain kebijakan impor tidak memberikan iklim kondusif bagi pengembangan peternakan sapi di dalam negeri. (4) Mengabaikan tradisi (budaya) bisnis dalam budidaya dan pasca panen; Pada kasus ini kegiatan peternakan rakyat (farming system) diperlakukan sebagai industri (system agribusiness). Pola konsumsi masyarakat di hari raya (idulfitri), cenderung mengonsumsi daging bukan nya jerohan. Sehingga kerugian pedagang atas tidak lakunya jeroan akan ditimpakan kepada harga daging. (5) Penetapan harga dagimg sapi, bahwa harga murah akan terbentuk dari peningkatan produksi domestik, bukan berasal dari impor. Terakhir, (6) Harmonisasi kebijakan; banyak kebijakan kontra produktif atas program swasembada daging sapi. Salah satunya, Program Swasembada yang tidak didukung kebijakan anggaran yang cukup.