Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membangun Peternakan Sapi

25 Oktober 2017   16:19 Diperbarui: 10 Desember 2017   13:40 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nawacita pemerintahan Jokowi-JK No. 6 adalah; meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Sedangkan No. 7. Berbunyi : mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Namun faktanya di sektor pertanian, khususnya peternakan sapi potong penulis mengamati, sekurangnya ada tujuh kebijakan pembangunan yang kontra produktif bahkan tidak sejalan dengan nawacita yang telah dicanangkan tersebut.

Prinsip kebijakan

Pada prinsipnya kebijakan pembangunan harus berlandaskan kajian akademik atau dikenal dengan "policy based on science".  Selain itu suatu kebijakan secara teknis harus fisibel dan dapat dilaksanakan oleh pelaku bisnis (stakeholder). 

Secara ekonomis menguntungkan (profitable) bagi semua pihak dan secara sosiologis dapat diterima (akseptable) masyarakat dan berdampak futuristik kedepan serta memberikan dampak positip terhadap pembangunan. Bahwa tujuan dari kebijakan pembangunan peternakan sapi potong adalah: usaha meningkatkan produksi, dalam rangka ketersediaan produksi dalam negeri. Usahanya berkelanjutan, artinya ternak bukan hanya komoditi tapi juga sumberdaya. Dan usahanya menguntungkan, usaha ini mampu memberikan kesejahteraan bagi peternak.

Kebijakan kontroversial

Sekurangnya ada tujuh kebijakan yang kontra produktif dalam membangun peternakan sebagai berikut : (1) Larangan  penggunaan hormon pertumbuhan pada usahaternak sapi potong tertera dalam UU 41/2014  pasal 22,  ayat 4 C.  kebijakan ini tidak konsisten dengan realitanya, yaitu negeri ini melakukan importasi daging dan sapi dari negera-negara yang menggunakan hormon pertumbuhan. 

Artinya, pemerintah tidak berpihak kepada peternak sapi yang ada di dalam negeri. tentunya, peternak tidak akan mampu bersaing di dalam system perdagangan global, karena dilarang menggunakan input teknologi. Jika kita berkeinginan sesuai dengan Nawacita, seharusnya peternak di dalam negeri diperbolehkan menggunakan hormon pertumbuhan sesuai  dengan persyaratan yang berlaku. (2) kebijakan yang menyangkut lama pemeliharaan penggemukan sapi potong minimal 120 hari, (lihat UU 41/2014 tentang PKH, pasal 36B, ayat 5). Kita semua sangat paham bahwa teknologi digunakan untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Pada kasus usaha penggemukan, dikenal dengan konsep "pertumbuhan kompensasi". 

Dimana peternak, memanfaatkan waktu yang tercepat untuk menghasilkan pertambahan berat badan yang paling optimal. Bukan diukur dengan lamanya waktu pemeliharaan ternak minimal 120 hari. (3) Kebijakan mengenai perubahan pendekatan pembangunan dari produksi kepada harga daging sapi (lihat Permendag 699/2013). Kebijakan ini jelas-jelas keberpihakan pemerintah hanya kepada konsumen. 

Pasalnya, penetapan harga daging sapi Rp. 80 ribu/kg yang hingga kini belum terwujud, telah melahirkan kebijakan impor daging yang tanpa kendali. Sesungguhnya, kebijakan harga ini dapat digunakan sebagai rujukan bukannya patokan. (4) kebijakan perubahan berat badan pada impor sapi bakalan dari 350 kg menjadi 450 kg (Permentan 49/ 2016 ke 02/ 2017 pasal 15). Kebijakan ini, akan berdampak terhadap  penurunan pendapatan usaha penggemukan. Pasalnya, jenis dan bangsa sapi yang diimpor selama ini secara fisiologis berat badan 350 kg/ekor merupakan berat yang optimal bagi sapi bakalan untuk menghasilkan sapi siap potong 500 kg/ekor. Bisa dibayangkan jika berat badan 450 kg dipelihara selama 120 hari akan menghasilkan sapi siap potong sekitar 600 kg/ekor. Padahal konsumen para jagal menyukai sapi-sapi dengan berat 400-500 kg/ekor. 

Sehingga, sapi sapi dengan berat "jumbo=600 kg" harga per kilogramnya akan lebih murah. Sebaiknya, kebijakan ini dikembalikan kepada kebijakan asalnya, yaitu berat badan sapi bakalan impor di rata-rata 350 kg/ekor. (5) kebijakan membebaskan impor daging dan sapi  (lihat Permentan No 17/2016, 34/2016 dan permendag 59/2016). Kebijakan ini sesungguhnya bisa dilakukan, jika saja input teknologi maupun usaha budidaya peternak di dalam negeri sama dengan manajemen di Negara exportir sapi ke negeri ini. 

Sehingga kompetisinya dilakukan dengan konsep "apple to apple". sesungguhnya kebijakan importasi daging dan sapi dilakukan hanya jika diperlukan untuk memeuhi kebutuhan konsumen serta merangsang produksi ternak di dalam negeri. (6) Kebijakan membuka impor dari negara yang belum bebas PMK (lihat PP 4/2016 dan SK Mentan No.2556/2016). Kebijakan ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No.41/2014 tentang PKH pasal 36E ayat 1. Dampak dari kebijakan ini, dikhawatirkan akan terjadinya outbreak PMK yang sangat membahayakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun