Pola asuh otoriter sangat umum diterapkan, terutama di wilayah Asia. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini sering kali menganggap bahwa perlakuannya adalah wujud sayang dan protektif terhadap anak, tanpa memikirkan bagaimana perlakuan tersebut dapat memengaruhi perilaku anak kedepannya.
Dalam jurnalnya yang berjudul Materi Pokok Landasan Kependidikan pada tahun 1994, Parsono mengatakan bahwa pola asuh otoriter merupakan pola asuh di mana orang tua membatasi dan mendesak anak untuk mengikuti petunjuk orang tua. Pada pola asuh ini akan terjadi komunikasi satu arah, di mana orang tua akan memberi perintah dan aturan-aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keingin anak.
Orang tua dengan pola asuh ini cenderung bersikap keras, karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut, anak tidak akan melakukan tugas dan kewajibannya. Hal ini menjadikan anak memiliki perasaan takut terhadap orang tua dan melakukan hal-hal yang diperintahkan semata-mata agar tidak dimarahi, tidak lagi memikirkan dampak baik dari perintah tersebut kedepannya.
Lalu, sebenarnya pola asuh ini baik atau tidak, sih?
Pola asuh otoriter, di mana orang tua cenderung bersikap tegas dan mengekang sehingga anak memiliki kebebasan yang terbatas, tentu memiliki banyak dampak buruk terhadap anak, diantaranya:
1. Anak mulai berbohong
Banyaknya peraturan yang mengekang membuat anak sulit untuk menemukan ruang geraknya sendiri. Untuk menemukan kebebasan itu, tentu anak akan mencari celah dan berbohong. Selain itu, tidak sedikit pula anak berbohong agar terhindar dari hukuman jika yang dilakukannya tidak sesuai dengan keinginan dan harapan  orang tua.
2. Anak menjadi tidak mandiri
Karena biasa selalu menjadi "boneka" yang setiap tindakannya diatur oleh orang tua, anak menjadi takut saat melakukan hal-hal di luar pengawasan orang tua. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini cenderung sulit membuat keputusan sendiri, takut mengambil risiko, dan tidak punya inisiatif.
3. Hubungan yang tidak nyaman dengan orang tua
Anak tidak lagi melihat orang tua sebagai sosok penyayang seperti yang digambarkan dalam buku pelajaran, melainkan menjadi sosok yang menakutkan yang harus selalu dituruti apapun keinginannya. Perasaan takut ini tidak menutup kemungkinan jika lama kelamaan dapat memunculkan perasaan benci dari anak terhadap orang tuanya. Â