Mohon tunggu...
Riski Rosalie
Riski Rosalie Mohon Tunggu... Freelancer - Listen, Keep, Write it Down

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Aku Vs Maha Mereka

23 April 2021   20:59 Diperbarui: 23 April 2021   21:15 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.unsplash.com (Holly Mandarich)

"Tak ada gading yang tak retak", barangkali bisa dan selaras dengan apa yang saya lalui di dalam petualangan hidup saya. Benar adanya, meski skenario [etualangan hidup saya nyaman-nyaman saja, tentu saya pernah menemui titik-titik yang berat. 

Menjadi perempuan tidak hanya menanggung sakit secara fisik yang rutin terjadi di setiap bulannya (menstruasi), tetapi juga masih berhadapan dengan sejumlah orang yang menganggap perempuan sebagai burung yang harus disangkar, biar tuannya saja yang melatih dan menikmati kicuannya. 

Saya memiliki sejumlah kegemaran atau hobi yang bagi masyarakat yang suka mengotak-kotakan gender, dianggap sebagai suatu kegemaran yang tidak diperuntukan bagi saya. Setidaknya seperti itu yang dulu saya alami ketika saya masih remaja, di mana pada saat itu pengotak-kotakan gender masih sangat kental terasa di masyarakat. Meski sentimen negatif seperti itu tidak saya dapatkan dari keluarga saya sendiri, melainkan dari orang lain yang notabene "asing" bagi saya, tetap saja hal itu terasa menganggu. 

Mendaki gunung, apakah perempuan tidak boleh mendaki gunung? Apakah hanya laki-laki saja yang boleh menikmati serunya suatu pendakian gunung? Mengapa mendaki gunung jadi punya kelamin dan identitas gender? Setidaknya pada saat itu! 

Saat ini mendaki gunung telah menjadi hobi yang aktornya sudah sangat banyak. Di Indonesia sendiri hobi ataupun aktivitas ini sepertinya melonjak semenjak mengudaranya film "5 cm", sebuah film Indonesia yang berkisahkan persahabatan, asmara, dan aktivitas pendakian gunung. Hobi ini tak hanya diramaikan oleh laki-laki saja, pendaki perempuan juga telah banyak sekali. 

Untunglah budaya penanaman gender pada suatu hobi tidak separah dulu, bukan berarti hilang, hanya saja sudah ada keterbukaan pikiran dari besar masyarakat. 

Sampai saat ini masih sering saya lihat bagaimana perempuan susah sekali untuk menikmati apa yang menjadi kegemarannya. Perempuan yang hobi dalam otomotif dianggap tidak wajar. Perempuan yang hobi joget dianggap rendahan. Perempuan yang hobi debat dianggap ancaman. Perempuan yang hobi membantu orang bahkan mungkin dianggap pencitraan semata. Serba salah bagi perempuan untuk melakukan serta menikmati kegemarannya. Terlebih pada hobi-hobi yang masih dipaksakan memiliki jenis kelamin. Sama beratnya ketika laki-laki dipandang sebelah mata karena memiliki hobi dalam dunia rias, busana, ataupun memasak. 

Selama masyarakat masih tertutup pikiran dan pemikirannya dengan memaksakan suatu hal memiliki kelamin, padahal tidak begitu seharusnya, maka selama itu suatu kegemaran akan menjadi hal yang sulit untuk benar-benar dinikmati. Tidak hanya bagi perempuan saja, termasuk juga bagi laki-laki. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun