Di Indonesia ada aneknot yang cukup menusuk ketika dikatakan bahwa dosen yang rajin di kampus itu adalah dosen yang tidak laku. Jika kita amati di perguruan tinggi ternama dunia justru terjadi sebaliknya karena dosen kaliber dunia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk meneliti dan berkarya di kampus.
Jika alasannya hanya karena kurangnya penghasil sebenarnya kurang tepat juga karena dibandingkan di era tahun 1980 an penghasilan dosen saat ini mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan. Penghasilan seorang professor misalnya walaupun tidak berlebihan namun dapat dikatakan cukup.
Demikian juga dana penelitian kompetitif yang disediakan oleh pemerintah maupun sumber dana asing yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan era sekitar 30 tahun lalu. Lantas apa yang mendorong banyak juga dosen yang kompeten masih menyambi pekerjaaan di luar kampus?
Tidak dapat dipungkiri memang, di perguruan tinggi besar cukup banyak dosennya yang menyambi pekerjaan ataupun dipinjamkan sementara di berbagai instansi untuk memegang jabatan tertentu mulai direktur sampai dengan menteri. Bahkan di bank bank besar atau BUMN lainnya komisaris utamanya banyak yang berasal dari kalangan akademisi.
Pergeseran orientasi akademis tampak sedang melanda kalangan akademis dan terkait dengan tuntutan hidup di lingkungan dimana dia berada. Gemerlap dosen dengan label “pakar” dan “nara sumber” yang sering tampil di media massa maupun media elektronik ataupun menduduki posisi di pemerintahan membuat keberhasilan dosen kini tidak saja ditentukan oleh reputasi ilmiah saja melainkan juga oleh prestasi materi dan jabatan.
Fenomena seperti ini jelas sekali terlihat di kampus sekalipun ketika terjadi pemilihan dekan dan rektor yang penuh intrik dan gonjang ganjing, bahkan untuk memperoleh jabatan ini ada yang menggunakan kekuatan luar kampus untuk memuluskannya untuk memperoleh posisi tersebut.
Tidak jarang banyak dosen lebih senang menulis di media massa dibanding dengan menulis karyanya dalam jurnal ilmiah. Fenomena ini sebenarnya dapat dimengerti, karena disamping mendapatkan honor dari hasil tulisannya yang cukup menggiurkan, juga mendapat status “selebriti” karena akan dikenal banyak orang.
Honor tampil wawancara di berbagai stasiun TV juga sangat menggiurkan dibandingkan dengan menulis karya ilmiah di Jurnal Ilmiah yang justru harus membayar mahal jika tulisannya telah lolos panel seleksi dan akan dipublikasikan.
Di dunia birokrasi, biasanya target jabatan lainnya yang sering “diimpikan” oleh kaum akademisi adalah masuk ke dalam jalur birokrasi pemerintahan, adalah direktur, dirjen ataupun menteri sekalipun.
Status selebriti di media massa dan juga status sosial dalam bentuk kemewahan seperti mengendarai mobil mewah dan tuntutan gaya hidup mewah lainnya terkadang memang sangat menggoda.
Memang tidak ada yang salah menjadi dosen selebritis dan juga mencari penghasilan tambahan, namun cukup banyak juga dosen yang menempuh jalur instan ini akhirnya terperosok pada jurang yang sangat dalam akibat mengejar popularitas dan gemerlap kemewahan.