Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Dosen Selebritis

20 Mei 2017   14:33 Diperbarui: 20 Mei 2017   14:35 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: cdn2.iconfinder.com

Di Indonesia ada aneknot yang cukup menusuk ketika dikatakan bahwa dosen yang rajin di kampus itu adalah dosen yang tidak laku.  Jika kita amati di perguruan tinggi ternama dunia justru terjadi sebaliknya  karena dosen kaliber dunia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk meneliti dan berkarya di kampus.

Jika alasannya hanya karena kurangnya penghasil sebenarnya kurang tepat juga karena  dibandingkan di era tahun 1980 an penghasilan dosen saat ini mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan.   Penghasilan seorang professor  misalnya walaupun tidak berlebihan namun dapat dikatakan  cukup.

Demikian juga dana penelitian kompetitif yang disediakan oleh pemerintah maupun sumber dana asing yang jauh  lebih banyak jika dibandingkan dengan era sekitar 30 tahun lalu. Lantas apa yang mendorong banyak juga dosen yang kompeten masih menyambi pekerjaaan di luar kampus?

Tidak dapat dipungkiri memang, di perguruan tinggi besar cukup banyak dosennya yang menyambi pekerjaan ataupun dipinjamkan sementara di berbagai instansi untuk memegang jabatan tertentu mulai direktur sampai dengan menteri.  Bahkan di bank bank besar atau BUMN lainnya komisaris utamanya banyak  yang berasal dari kalangan akademisi.

Pergeseran orientasi akademis tampak sedang melanda kalangan akademis dan  terkait dengan tuntutan hidup di  lingkungan dimana dia berada. Gemerlap dosen  dengan label “pakar” dan “nara sumber”  yang sering tampil di media massa maupun media elektronik ataupun menduduki posisi di pemerintahan membuat keberhasilan dosen kini tidak saja ditentukan oleh reputasi ilmiah saja melainkan juga oleh prestasi materi dan jabatan.

Fenomena seperti ini jelas sekali terlihat di kampus sekalipun ketika terjadi pemilihan dekan dan rektor yang penuh intrik dan gonjang ganjing, bahkan untuk memperoleh jabatan ini ada yang menggunakan kekuatan luar kampus untuk memuluskannya untuk memperoleh posisi tersebut.

Tidak jarang banyak dosen  lebih senang menulis di media massa dibanding dengan menulis karyanya dalam jurnal ilmiah. Fenomena ini sebenarnya dapat  dimengerti, karena disamping mendapatkan honor dari hasil tulisannya yang cukup menggiurkan, juga mendapat status “selebriti” karena akan dikenal banyak orang.

Honor tampil  wawancara di berbagai stasiun TV juga  sangat menggiurkan dibandingkan dengan menulis karya ilmiah di Jurnal Ilmiah yang justru harus membayar mahal jika tulisannya telah lolos panel seleksi  dan akan dipublikasikan.

Di dunia birokrasi, biasanya target jabatan  lainnya yang sering “diimpikan” oleh kaum akademisi adalah masuk ke dalam jalur birokrasi pemerintahan, adalah  direktur, dirjen ataupun menteri sekalipun.

Status selebriti di media massa dan juga status sosial dalam bentuk kemewahan seperti mengendarai mobil mewah dan tuntutan gaya hidup mewah lainnya terkadang  memang sangat menggoda.

Memang tidak ada yang salah menjadi dosen selebritis dan juga mencari penghasilan tambahan, namun  cukup banyak juga dosen yang menempuh jalur instan ini akhirnya terperosok pada jurang yang sangat dalam akibat mengejar popularitas dan gemerlap kemewahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun